Annanews.co.id || Jakarta – Tingkat kepercayaan publik terhadap profesionalisme aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan bahkan pengacara semakin terkikis nyaris punah. Berbagai kasus kriminal yang melibatkan sejumlah oknum yang terjadi di hampir semua sudut negeri, silih berganti sambung-menyambung terjadi tanpa jedah. Kasus teranyar adalah keterlibatan oknum wereng coklat alias polisi AKBP Bintoro, mantan Kasatreskrim Polresto Jakarta Selatan, yang diduga kuat memeras boss klinik kesehatan Prodia, menambah panjang daftar pelaku kejahatan dari kalangan aparat hukum.
Sebagaimana viral di ribuan media, termasuk jejaring media sosial dan WhatsApp, diberitakan bahwa oknum perwira menengah itu melakukan pemerasan terhadap pelaku kejahatan seksual dan tindak pidana narkotika dengan iming-iming kasusnya dihentikan. Versi berita yang beredar, nominal uang damai yang diminta oknum polisi ini tidak main-main, 20 miliar, termasuk sejumlah kendaraan super mewah sitaan yang kini tidak diketahui rimbanya.
Berita lengkapnya di sini: Polisi ini Peras Bos Prodia Rp 20 Miliar, Wilson Lalengke: “Dia Nabung buat Beli Pangkat Jenderal” (https://pewarta-indonesia.com/2025/01/polisi-ini-peras-bos-prodia-rp-20-miliar-wilson-lalengke-dia-nabung-buat-beli-pangkat-jenderal/)
Setelah melalui proses pemeriksaan Propam Polda Metro Jaya selama 8 jam, sang lulusan akademi kepolisian itu memberikan klarifikasi, dengan menyebutkan bahwa semua yang dituduhkan kepadanya adalah fitnah belaka. “Faktanya, semua ini adalah fitnah. Tuduhan bahwa saya menerima uang sebesar 20 miliar sangat mengada-ngada,” tegas AKBP Bintoro dalam potongan video berdurasi 4 menit 1 detik yang dibuatnya usai diperiksa petugas, 26 Januari 2025.
Masih merujuk pada video klarifikasi tersebut, Bintoro mengatakan bahwa dia digugat perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus yang sama. Dia digugat karena ingkar janji atau wanprestasi oleh korban pemerasan yang merupakan pelaku kejahatan yang diprosesnya. Dalam gugatan tersebut, kata Bintoro, dia dituduh menerima Rp. 5 milyar uang tunai dan Rp. 1,6 milyar melalui transfer sebanyak 3 kali.
Satu hal yang juga disampaikan Bintoro adalah tentang tuduhan bahwa dirinya menambung uang untuk beli pangkat jenderal. Padahal, katanya, dia adalah orang yang paling terlambat jenjang karirnya di antara teman-teman seangkatannya. Berita lengkapnya di sini: AKBP Bintoro Klarifikasi Dugaan Pemerasan terhadap Bos Prodia, Gemetar Diperiksa 8 Jam (https://pewarta-indonesia.com/2025/01/akbp-bintoro-klarifikasi-dugaan-pemerasan-terhadap-bos-prodia-gemetar-diperiksa-8-jam/)
Menanggapi video dan pernyataan AKBP Bintoro tersebut, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, mengatakan bahwa tindakan polisi yang menjadi obyek pemberitaan itu bagus dan seharusnya begitu. “Ini merupakan bentuk hak jawab dari yang bersangkutan atas pemberitaan terhadap dirinya di media-media. Itu sikap yang bagus dan sudah seharusnya demikian,” katanya, Senin, 27 Januari 2025.
Namun, secara substansial isi pernyataan Bintoro di video tersebut, terdapat beberapa hal yang mesti dianalisis dan dikritisi untuk kemudian diproses lebih lanjut agar fakta dan kebenaran diungkapkan secara transparan dalam penegakan hukum. Terkait dengan substansi kasus ini, Wilson Lalengke menyampaikan terima kasih kepada pihak Polri yang terus mendalami kasusnya, tidak terpengaruh dengan klarifikasi yang diduga bohong, bahkan saat ini yang bersangkutan sudah ditahan di tahanan Paminal Propam Polda Metro Jaya.
“Singkatnya, jika maling jujur mengaku maling, yaa malaekat langsung bunuh diri ramai-ramai karena mereka tidak diperlukan lagi memonitor kelakuan manusia. Kira-kira begitu kalimat sindiran yang pas untuk menggambarkan pernyataan si oknum yang menolak mengakui perbuatannya,” jelas Wilson Lalengke saat diminta tanggapan atas video klarifikasi itu oleh rekan-rekan media.
Soal nominal 5 milyar atau 20 milyar, atau bahkan 1 juta rupiah saja, sambung Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI) itu, hal ini tidak menghapus adanya perbuatan kriminal di dalamnya. “Soal angka 5 milyar plus 1,6 milyar sebanyak 3 kali transfer dan tudingan 20 milyar yang ditujukan kepadanya, tidak jadi soal. Yang menjadi inti kasus adalah tindak kriminal pemerasan yang dilakukan. Faktanya ada gugatan oleh pelaku kejahatan yang merasa jadi korban cedera janji, diminta membayar sekian milyar agar lepas dari jerat hukum. Dus, pelapor diminta cabut laporan dengan iming-iming uang Rp. 50 juta, edan!” cetus Wilson Lalengke sambil mempertanyakan kemana kendaraan mewah sitaan dari para pelaku kejahatan yang diprosesnya itu.
Wilson Lalengke juga menilai bahwa kecerdasan literasi para wereng coklat dan sebagian warga masyarakat sangat memprihatinkan. Pasalnya, mereka tidak mampu mencerna informasi dengan pemahaman yang baik dan mumpuni terkait kalimat ‘menabung untuk beli pangkat bintang atau jenderal’.
“Haha, ini lucu tapi menyedihkan. Si Bintoro itu mengartikan kalimat saya soal ‘dia nabung untuk beli pangkat jenderal’ secara lugu ala anak kecil tak berdosa. Apalagi dia kaitkan soal pangkatnya yang masih AKBP yang tidak mungkin serta-merta naik jadi jenderal. Pernyataan saya itu merupakan sindiran yang artinya ‘kumpulkan uang banyak demi menyogok orang-orang penting di atas sana agar mudah naik pangkat dan dapat jabatan empuk’. Itu sindiran untuk para pimpinan Polri dan budaya setoran ke pimpinan di tubuh institusi itu, yang pada akhirnya memaksa bawahan cari cuan dengan segala macam cara, haram-halal hantam kromo, peras habis penonton Malaysia, jadi bandar narkoba internasional, hingga jadi backing tambang illegal. Level perwira menengah koq dungu begitu yaa?” ketus tokoh pers nasional yang sudah melatih ribuan anggota Polri dan TNI serta masyarakat umum di bidang jurnalistik warga ini.
Sebagai penutup pernyataan persnya, lulusan pasca sarjana bidang Applied Ethics dari Utrecht University, the Netherlands, dan Linkoping University, Sweden, itu menyarankan kepada oknum polisi Bintoro untuk menjadi whistle-blower dalam kasus yang menjeratnya. “Saya berharap, dia bersedia menjadi whistle-blower dalam proses penuntasan kasus ini. Saya yakin, dia tidak kerja sendiri, hampir pasti melibatkan jaringan mafia hukum di lingkungan Polri (Polres Jaksel, Polda Metro Jaya, dan Mabes Polri – red), plus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” pungkasnya berpesan. (Red)