Annanews.co.id || Sulawesi Utara – Beredar Vidio Group Whatsapp berdurasi 2,54 detik adanya pembungkaman terhadap wartawan dengan dimintakan saksi dari Dewan Pers, dalam persidangan, dan tidak mengakui salah satu media yang tergabung de han Dewan Pers. Hal ini di bantahan oleh Adiyansyah salah seorang Tim Investigasi LSM. Kamis (4/4/2024)
Menurut Adiyansyah, tentang produk legal
stending (kekuatan hukum) yang lebih tinggi antara kemenkumham (negara) tehadap Dewan Pers, kintrevesi ini dinilai keliru atas purusa hakim terhadap seorang wartawan dengan di vonis 6 bukan penjara,”katnya.
Adiyansyah, menuturkan Dewan Pers yang berasal dari produk dan aliansi wartawan tumbuh dan kembang dendam adanya media dalam wadah Aliansi, kerap kali menghilang kebijakan dan titik aman untuk kelompok dan golongan tergabung, kajian ini juga semestinya secera struktural menyangkut ruang lingkup menjadi pedoman mundungi pwrusahan pwra dan tim wartawan yang tergabung.
“Ini telah menciderai wartawan seluruh Indonesia, bukan saja di Sulawesi Utara, dan pembungkaman ini harus di lawan karena hal ini bentuk ke zoliman,” Pungkasnya.
Sementara itu, salah sorang wartawan yang di vonis 6 bukan dengan raut muka sedih, dan atas kejadian ini merasa terzolimi, karena produk jurnalis adalah bahagian dari kebebaaan pera berdasarkan UU Pers.
Senada dengan hal itu di kutib dari beberapa sumber media peryataan Wakapolri, Komjen Pol Agus Andrianto, mengingatkan seluruh pihak, bahwa produk jurnalistik yang diproduksi lewat mekanisme jurnalisme yang sah, dari Perusahaan Pers legal, tidak dapat dibawa ke ranah pidana.
Produk tersebut kata Komjen Pol Agus Andrianto, juga tidak dapat dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE.
“Untuk kasus yang memang dimunculkan adalah sesuatu hal benar (berita), wartawannya juga tidak boleh diproses kalau memang informasi itu benar, bukan fitnah,” tegas Agus seperti dikutip dari fajar.co pada Selasa 12 Maret 2024 lalu.
Agus mengatakan, hal ini merupakan bagian dari kesepakatan antara Polri dengan Dewan Pers. Kesepakatan yang diperbarui itu wajib dipatuhi kepolisian.
Menurut Agus, kesepakatan itu melindungi pemberitaan yang diproduksi perusahaan pers yang diakui Dewan Pers.
Agus mengatakan seluruh anggota kepolisian harus menggunakan mekanisme sengketa pers sesuai aturan yang ditetapkan Dewan Pers serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Kalau masih memungkinkan, penegakan hukum itu menjadi pintu terakhir, tetapi setelah ditempuh klarifikasi, upaya mediasi para pihak. Kalau sudah mentok, baru diputuskan apakah penyelidikannya dilanjut atau tidak,” ujar Agus.
Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As-SDM), Irjen Pol Dedi Prasetyo, mengatakan, media sosial dan media massa siber adalah dua produk berbeda.
Media sosial, kata dia, dibuat tanpa konfirmasi maupun diklarifikasi. Adapun media massa siber sebaliknya. Media perusahaan pers bisa dikonfirmasi maupun dimintai klarifikasi apabila terjadi kekeliruan pemberitaan.
Bagi teman-teman media, semua produk yang dihasilkan dilindungi Undang-undang. Saat ini kecepatan informasi di media sosial bisa mencakup semua tanpa batas waktu dan wilayah. Cuma, produk jurnalistik harus bisa dipertanggungjawabkan baik diklarifikasi maupun dikonfirmasi,” tuturnya.
Sebagai Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Dedi menambahkan, produk jurnalistik justru memberikan sosialisasi, edukasi dan memberikan pencerahan bagi masyarakat. Inilah yang tidak dimiliki produk atau konten yang ada di media sosial yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
“Kami berharap media bahu membahu memerangi konten berbau hoaks apalagi di tahun politik seperti ini. teman-teman media jauh lebih luas menghadapi bersama-sama pada Pemilu 2024 yang sangat panjang dan keras dan sudah dihadapi sebelumnya,” pungkas Dedi. (Red)