Anak Niko Naput Dinilai Mimpi Sebagai Ahli Waris 11 Hektar Tanah di Labuan Bajo, dengan dasar Surat Alas Hak Fotocopy

Annanews.co.id || Manggarai Barat –  Konflik tanah ahli waris almarhum Ibrahim Hanta (IH) dengan terus bergulir dengan keluarga almarhum Niko Naput (NN) terkait sengketa tanah 11 hektar di Kerangan, Labuhan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat Ini Sengketa Tanah ini masih menunggu proses hukum di Pengadilan Tinggi (PT) Kupang.

Muhamad Rudini didampingi Tim Kuasa Hukum almarhum IH (penggugat), Jon Kadis menyatakan, kepemilikan sah tanah seluas 11 hektar ini, bukan disebabkan oleh adanya surat pembatalan alas hak tanah dari keluarga NN (pihak tergugat). Hal ini untuk membantah klaim pihak tergugat yang mengajukan banding, atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo pada 23 Oktober 2024 yang menyatakan tanah ini, sah milik penggugat.

“Bantahan banding tersebut, menunjukkan bahwa klaim mereka (red-tergugat) tidak berdasar. Terutama karena Sertifikat Hak Milik (SHM) itu ternyata salah lokasi,” kata Muhamad Rudini ahli waris almarhum IH kepada media, Kamis, (20/2/2025) di Labuhan Bajo, Manggarai Barat.

Muhamad Rudini, cucu almarhum IH ini menegaskan, bahwa kepemilikan tanah 11 hektar ini sah milik almarhum IH. Hal ini berdasarkan fakta yang telah terbukti di pengadilan.

“Keabsahan kepemilikan tanah 11 hektar ahli waris kakek almarhum Ibrahim Hanta sudah sah, berdasarkan bukti-bukti kami sendiri yang sudah terbukti di sidang PN. Pertama, bukti keterangan para saksi fakta, dimana pihak kami ada 5 saksi fakta. Bahkan kalau mau, warga sekampung Wae Mata Labuan Bajo, ratusan, bisa tampil sebagai saksi fakta,” ucapnya.

Karena kata Rudini, rata-rata penghuni kampung Wae Mata tahu persis tanah 11 hektar itu adalah milik almarhum IH, yang diperoleh secara adat kapu manuk lele tuak ke Ishaka, fungsionaris adat/ulayat, 1973. Apalagi, di atas tanah tersebut tertanam kelapa, jati, jambu mente, ada pondok. Bahkan tanah dipagar, baik dengan pohon hidup maupun pagar batu.

“Kedua adalah berkaitan dengan bukti surat. Betul kami baru memiliki dokumen berupa surat keterangan perolehan hak 2019. Sekali lagi ‘keterangan’ perolehan hak atas tanah dari Fungsionaris Ulayat melalui kuasa Penata alm. Haji Dudje, yang menerangkan tanah ini sudah dikuasai sejak 1973, diterima dari Hj Ishaka, Fungsionaris Ulayat,” tegasnya.

Menurutnya, bahwa batas-batas dan total luasnya jelas. Lagi pula, sewaktu mudanya Haji Djuje beliaulah yang pergi menunjuk dan menyaksikan tanah tersebut.

“Mengapa baru tahun 2019 kami dapat surat itu? Hal tersebut sebagai persyaratan pengajuan sertifikat tanah kami. Sehingga kami ajukan pensertifikatan tanah ini, karena sejak 2014 kami mulai didatangi pihak almarhum Niko Naput, bahkan datang ke lokasi, mengklaim milik mereka. Kami jelas melawan dong!,” ujar Rudini.

Sebagaimana pemberitaan salah satu media online belum lama ini, alasan pihak NN mengklaim kepemilikannya itu sudah sejak 1990. Sedangkan ahli waris almarhum IH belakangan, 2019. Jadi pihak Niko Naput merasa lebih dulu.

“Publik jangan percaya itu. Itu pembohongan kepada publik. Tudingan dan ucapan ini memutarbalikkan isi dokumen 2019 itu. Tanah ini sudah dikuasai kakek kami yang petani itu sejak 1973,” bantah Rudini.

Katanya, penyerahan dari Haji Ishaka selaku Fungsionaris Ulayat dengan kapu manuk lele luak. Dokumen 2019 itu adalah surat yang isinya adalah keterangan.

“Sekali lagi keterangan perolehan hak kakek kami almarhum IH sejak 1973 itu, untuk memenuhi persyaratan administrasi yang diminta BPN bukan baru isinya,” tegas Rudini.

Melengkapi uraiannya, Tim Kuasa Hukum almarhum IH, Jon Kadis, SH, menginformasikan, sebagaimana yang dialaminya saat proses sidang di PN Labuan Bajo. Katanya, di pihak Niko Naput dan Santosa Kadiman, PT. Mahanaim Group, hanya menunjukkan bukti berupa saksi faktanya sendiri yang justru sama sekali tidak menunjukkan ciri tanah mereka di tanah 11 hektar ini.

“Semua saksi faktanya berkata tanah Niko Naput itu dalam kondisi alami, seperti batas laut, batas hutan pepohonan kedondo, jalan raya. Namun, tidak disebutkan ada pagar batas yang rapih tidak ada pohon kelapa, jati, jambu mente, tidak ada pondok. Sedangkan pagar, pohon kelapa, jati, jambu mente, pondok itu adalah ciri tanah 11 hektar alm.IH. Jadi, jelas tanah Niko Naput itu tidak berada di lokasi 11 hektar tanah almarhum IH kan?,” ungkap Jon Kadis.

Lalu bukti dokumen tergugat, kata Jon Kadis yaitu surat 10 Maret 1990 (fotocopy) alas hak andalan Niko Naput dan Santosa Kadiman, ketika melihat batasnya diketahui tanah itu terletak di luar 11 hektar milik almarhum IH.

“Entah dimana lokasi aslinya. BPN sendiri saat sidang menerangkan tidak ada surat asli 10 Maret 1990 di dalam warkah SHM. Tentu BPN itu salah ploting SHM,” tandas Jon Kadis.

Ada sidang tambahan dari Majelis Hakim PT Kupang 3 Februari 2025, didelegasikan kepada Majelis Hakim PN, untuk mendengar keterangan lagi saksi ahli baru tentang surat pembatalan 1998, dan tambahan keterangan lagi dari saksi lama, ahli hukum adat dan pertanahan.

“Saya tidak menghadiri sidang itu. Namun saya serahkan dokumen hasil operasi intelijen satgas Mafia tanah Kejagung dalam laporannya 23 Agustus 2024 (red- setelah meminta klarifikasi dari anak-anak Niko Naput, BPN, mantan Lurah, mantan Camat). SHM anak-anak Niko Naput di lahan almarhum IH yang hanya berdasar surat asli alas hak 10 Maret 1990 andalan utamanya itu tidak ada, salah lokasi, salah ploting dan cacat yuridis. Karena itu telah terjadi dugaan perbuatan melawan hukum, sehingga SHM-SHM tidak sah dan dibatalkan,” jelas Jon Kadis.

Selanjutnya kata dia, surat dari Kejagung ini, sudah diserahkan kepada Ketua PN Labuan Bajo cq Majelis Hakim, untuk dicantumkan dalam berita acara sidang tambahan 3 Februari 2025. Dimana selanjutnya dikirimkan ke PT Kupang.

“Jika tidak ada surat pembatalan 1998 terhadap tanah 10 Maret 1990 pun, hasilnya sama. Tanah 11 hektar itu buka tanah anak-anak Niko Naput. Singkatnya, bukan karena surat pembatalan 1998, yang berakibat tidak adanya tanah Niko Naput di 11 hektar. Akan tetapi surat alas hak 10 Maret 1990 itu sendiripun, tanahnya tidak terletak di 11 hektar almarhum IH”, terang Jon Kadis.

Lebih lanjut Jon menuturkan, sebab itulah Majelis Hakim PN Labuan Bajo memutuskan perkara ini, bahwa keadilan itu berada di pihak para ahli waris almarhum Ibrahim Hanta.

“Alasannya? Bukan karena surat pembatalan 1998 terhadap tanah perolehan surat 10 Maret 1990 itu, tetapi karena terbukti oleh data dukung Penggugat sendiri, yaitu para saksi fakta dan surat keterangan perolehan hak ahli waris 2019 dari Kuasa sah Fungsionaris ulayat, dimana menerangkan 11 hektar tanah itu sudah dimiliki sejak 1973,” jelas Jon Kadis.

Ia mengungkapkan, Majelis Hakim PT Kupang yang delegasikan PN Labuan Bajo untuk menggelar sidang tambahan 3 Februari 2025 lalu, didemo oleh keluarga besar ahli waris alm. IH dan masyarakat peduli hukum keadilan di kantor PN Labuan Bajo. Dimana menilai Majelis Hakim PT kupang patut diduga tidak profesional dan diduga masuk angin.

“Kami sebelumnya juga sudah melaporkan 3 Majelis Hakim PT Kupang ke kantor Bawas Mahkamah Agung Jakarta. Bahkan Didukung Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG) melakukan demonstrasi menuntut  3 oknum Majelis Hakim ini untuk diawasi dan diperiksa,” pungkas Jon Kadis. (Red)

Exit mobile version