Annanews.co.id || Jakarta 6/10/25 – Nasbi mendadak jadi bintang. Bukan karena ide cemerlang, bukan pula karena visi besar untuk bangsa, melainkan karena satu kalimat: “Yang saya jilat menang dan berkuasa, yang anda jilat kalah dan tak berkuasa.”
Kalimat ini seperti cermin retak politik Indonesia: jilat-menjilat tidak lagi ditutup-tutupi, bahkan dipamerkan dengan bangga. Inilah saat di mana “penjilat” bukan lagi hinaan, melainkan predikat prestisius — semacam gelar akademik dalam fakultas oportunisme.
Dari Moral ke Modal
Dalam logika sehat, menjilat adalah perilaku murahan. Ia merendahkan diri, menggadaikan integritas, dan menukar martabat dengan remah kuasa. Tetapi dalam logika Nasbi, menjilat justru naik pangkat: ia berubah jadi modal politik. Semacam investasi jangka pendek dengan keuntungan instan.
Jika dulu kita masih bisa membedakan antara pujian tulus dan sanjungan palsu, kini batas itu kabur. Yang penting “menang,” urusan etika bisa ditaruh di tong sampah. Moral hanya jadi asesoris, sekadar hiasan dalam pidato yang menggebu.
Menang yang Menyisakan Kekalahan
Yang tragis, logika “jilat yang menang” sama saja dengan mengajarkan publik bahwa kebenaran ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Padahal, sejarah penuh dengan contoh kebalikannya: yang kalah seringkali justru pemilik moral yang utuh, sementara yang menang membawa noda yang tak pernah hilang.
Jika ukuran kebenaran hanya berdasarkan kursi kekuasaan, maka demokrasi tinggal panggung dagelan. Kita tak lagi punya pemimpin, hanya koleksi aktor yang pandai merangkak.
Nasib Para Penjilat
Nasbi mungkin merasa menang dalam perdebatan di media sosial, tetapi ia lupa satu hal: penjilat selalu kalah di mata sejarah. Kekuasaan yang ia banggakan akan berganti, wajah yang ia puja akan pudar. Namun cap “penjilat” akan melekat selamanya.
Lebih baik berdiri tegak di barisan yang kalah tetapi bermartabat, daripada jongkok di pangkuan pemenang sambil memamerkan lidah basah.
Penutup
Pernyataan Hasan Nasbi bukan sekadar balasan sinis. Ia adalah reduksi nilai moral secara vulgar. Dari sini kita belajar, di republik ini integritas sering kali dikalahkan oleh kelicinan lidah. Politik menjadi pasar gelap, dan “penjilat” laris manis seperti dagangan murah di obral akhir tahun.
Maka, kalau benar jilat-menjilat kini jadi standar baru politik Indonesia, barangkali kita memang sedang dipimpin bukan oleh negarawan, melainkan oleh kolektor penjilat. (Red)