Annanews.co.id || Aceh 13/10/25 – Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat Aceh, khususnya para kepala desa, kepala sekolah, dan pejabat SKPK, dihadapkan pada dua persoalan sosial yang sama-sama merusak oknum wartawan abal-abal yang memeras dengan modus konfirmasi, serta hasutan antar warga yang menyebar layaknya virus kebencian.
Keduanya seolah berbeda, namun memiliki benang merah yang sama: menyalahgunakan kepercayaan untuk keuntungan pribadi, dan pada akhirnya merusak hubungan sosial serta ketenteraman masyarakat
Modus Lama Berkedok Baru: Konfirmasi Palsu, Ujungnya Minta Uang Sejumlah laporan masuk dari berbagai wilayah di Aceh, mulai dari Aceh Barat, Nagan Raya, hingga Subulussalam,Aceh Singkil terkait aktivitas oknum wartawan yang datang ke desa-desa dengan dalih melakukan konfirmasi atas penggunaan dana desa, pelaksanaan proyek, atau bantuan pendidikan.
Namun setelah “konfirmasi” dilakukan, mereka justru mulai meminta “uang minyak”, voucher internet, atau bahkan amplop, dengan ancaman tersirat: jika tidak diberikan, berita negatif akan muncul ke publik.
> “Dia datang tanya soal APBDes, saya layani dengan baik. Tapi setelah itu, malah minta uang jalan. Katanya untuk tim liputan. Saya langsung curiga, dan tolak. Ini bukan kerja jurnalistik, ini pemerasan terselubung,” kata salah satu kepala desa di wilayah Subulussalam.
Mereka biasanya hanya bermodal Kartu Tanda Anggota (KTA) dari media atau organisasi tidak jelas, tanpa izin resmi, dan tidak terdaftar di Dewan Pers. Bahkan banyak di antaranya tidak memahami Kode Etik Jurnalistik, apalagi memiliki pengalaman atau pendidikan dalam dunia pers.
Pukulan untuk Pers Sejati Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi jurnalis profesional, yang selama ini menjaga etika, integritas, dan independensi dalam kerja jurnalistik. Wartawan seharusnya menjadi **pengawas kekuasaan dan penyampai kebenaran, bukan tukang gertak yang mencari recehan dari ketakutan orang lain.
> “Kalau wartawan ingin diberi uang karena peliputan, lebih baik jangan jadi wartawan. Profesi ini kerja intelektual, bukan cari-cari bensin. Ini bukan lagi konfirmasi, ini pemerasan!” tegas Ogk Roni Syehrani, tokoh masyarakat Aceh.
Beberapa komunitas wartawan di daerah bahkan mulai mengambil sikap tegas. Di Nagan Raya, seorang oknum yang datang dari luar daerah pernah diusir dan ditampar, setelah ketahuan mencoba memeras kepala sekolah dengan dalih akan mengangkat berita.
Imbauan : Jangan Takut, Jangan Diam
Kami mengimbau seluruh masyarakat, kepala desa, kepala sekolah, dan instansi pemerintah agar:
1. Selalu cek legalitas wartawan dan medianya.
2. Jangan pernah memberi uang kepada wartawan mana pun.
3. Simpan bukti percakapan dan rekam interaksi sebagai bukti hukum.
4. Laporkan oknum mencurigakan ke aparat penegak hukum atau Dewan Pers.
Hasutan : Racun Sosial yang Tak Kalah Bahaya di saat masyarakat sedang dibuat resah oleh pemerasan berkedok pers, muncul pula racun sosial lain yang diam-diam mulai merusak hasutan yang menyesatkan
Fenomena ini diangkat dalam tulisan reflektif oleh jurnalis Syahbudin Padank, berjudul:
> “Hasutan yang Menyesatkan Saat Kebencian Seseorang Menular kepada Orang Lain”
Di dalamnya, dijelaskan bagaimana konflik pribadi yang tidak diselesaikan secara dewasa berubah menjadi kampanye kebencian, menyasar seseorang secara kolektif, dan menyebar luas melalui obrolan warung kopi, grup WhatsApp, hingga pertemuan sosial.
> “Kau harus tahu siapa dia sebenarnya.”
> “Jangan percaya sama dia, aku sudah tahu kelakuannya.”
Ungkapan-ungkapan seperti ini terlihat sepele, namun sering kali menjadi bahan bakar kebencian yang memecah belah masyarakat.
> “Nama baik bisa hancur bukan karena kesalahan, tapi karena hasutan orang yang tidak mau berdamai dengan dirinya sendiri,” tulis Syahbudin.
Korban hasutan sering tidak menyadari dirinya sedang diserang secara sosial. Ia dijauhi, dicurigai, bahkan difitnah, tanpa pernah diberi ruang untuk menjelaskan. Ini adalah bentuk kekerasan sosial yang terjadi tanpa darah, namun meninggalkan luka yang dalam.
Mari Dewasakan Diri dalam Menyikapi Konflik dan Informasi Di tengah derasnya arus informasi dan dinamika sosial yang kompleks, kedewasaan menjadi tameng utama. Masyarakat perlu lebih bijak memilah mana informasi yang benar, mana yang penuh kepentingan pribadi.
Ajukan pertanyaan sederhana setiap kali menerima cerita negatif tentang seseorang:
> “Apakah kamu sudah bicara langsung dengan orang itu?”
Jika belum, maka cerita itu patut diragukan. Jangan jadikan diri kita corong kebencian, apalagi jika konflik itu bukan milik kita.
Jagalah Desa, Jaga Damai, Jaga Martabat
Mari kita bersatu melawan dua racun sosial yang sedang merusak tatanan masyarakat:
Oknum wartawan pemeras yang menodai profesi mulia dan mengintimidasi dengan dalih konfirmasi.Hasutan personal yang menular dan menghancurkan hubungan sosial tanpa alasan yang adil.
Jangan beri ruang pada siapa pun yang datang dengan niat buruk. Baik yang memakai kartu wartawan maupun yang menyebar cerita kebencian keduanya adalah perusak harmoni.
Subulussalam, Aceh, dan seluruh pelosok desa di negeri ini layak hidup damai. (Red)