Sikapi Sidang Etik Anggota Brimob, DPP AMI : Garplin Tak Relevan

Annanews.co.id || Surabaya – Kompol Kosmas Kaju Gae, Komandan Batalyon A Resimen 4 Pasukan Pelopor Korps Brimob, menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban sekaligus mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya driver ojek online, Affan Kurniawan.

Kosmas mengaku tidak mengetahui jika korban adalah seorang pengemudi ojek online yang terlindas kendaraan taktis (rantis) yang ia kemudikan bersama anggotanya saat terjadi aksi demonstrasi di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam sidang kode etik dengan agenda pemecatan dirinya dari anggota Polri di Gedung Transnational Crime Centre (TNCC) Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/9/2025).

“Mohon maaf kepada keluarga korban, saya juga turut berduka cita sedalam-dalamnya atas peristiwa tersebut. Saya hanya menjalankan perintah pimpinan dan komandan, tidak ada niatan sedikit pun untuk mencelakai orang. Saya baru mengetahui korban meninggal setelah melihat video yang beredar di media sosial beberapa jam kemudian,” ungkap Kosmas dengan suara bergetar sambil menahan air mata.

Mabes Polri melalui Karopenmas Divisi Humas, Brigjen Pol Trunoyudo, menegaskan bahwa Kosmas bertindak tidak profesional hingga mengakibatkan adanya korban jiwa.

Kosmas dinyatakan melanggar Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, yang dikaitkan dengan sejumlah pasal dalam Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

Menanggapi sidang etik tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Madura Indonesia (DPP AMI) menyebut peristiwa itu sebagai tragedi yang seharusnya menjadi bahan evaluasi menyeluruh, baik dalam perlindungan bagi masyarakat maupun aparat kepolisian.

“Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 sudah jelas menempatkan Polri sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Mau tidak mau, Polri kerap berhadapan langsung dengan situasi sulit, termasuk benturan dengan massa, demi menjaga nyawa, harta benda masyarakat, serta aset negara,” ujarnya.

DPP AMI menambahkan, kendaraan taktis Brimob yang dikendarai tujuh personel dalam peristiwa itu secara hukum dapat dikategorikan sebagai tindakan overmacht atau daya paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP.

“Dalam kondisi darurat atau terpaksa (noodtoestand), pelaku tidak bisa dipidana. Pengendara rantis saat itu dikepung massa dan mencoba menyelamatkan diri dari kepungan ribuan massa. Jika berhenti, besar kemungkinan mereka diamuk massa dan kendaraan dibakar. Hal ini tentu bisa dipahami para pakar hukum,” katanya.

DPP AMI juga menilai penggunaan istilah garplin dalam kasus tersebut tidak relevan. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca berita terkini di Annanews.co.id