Revolusi Sosial vs Gemuruh Gelombang Nafsu Angkara Murka Jokowi

Oleh: Saiful Huda Ems.

Annanews.co.id || Jakarta 3 Mei 2025 – Perhatikan dan renungkan secara serius, sejak munculnya Jokowi di panggung politik nasional, kegaduhan dan perpecahan itu terus terjadi dimana-mana, mulai dari perpecahan antar elite Partai Politik, antar organisasi masyarakat keagamaan dan kepemudaan atau kemahasiswaan, hingga antar teman, antar almamater bahkan kadang sampai antar keluarga besar, keluarga kecil (suami, istri dan anak-anak, juga mertua).

Lembaga-lembaga negara –khususnya institusi-institusi penegak hukum–kadang juga terlihat saling sikut, saling berebut targetnya masing-masing. Mahkamah Konstitusi memutus perkara kadang bertentangan dengan keputusan sebelumnya. Kejaksaan Agung menangkap koruptor-koruptor kelas kakap, sedang KPK malah terlihat sibuk memproses hukum perkara-perkara kecil berbau politik, dan terkesan hanya membidik lawan-lawan politik Jokowi.

POLRI sempat terlihat terjadi polarisasi internal dari mulai Kasus Sambo, dan sejak menjelang Pilpres 2024 serta Pilkada serentak 2024, selain muncul istilah Partai Coklat yang menggerus wibawa institusi POLRI, anggota-anggota POLRI di lapis terbawah juga terlihat mengalami demoralisasi pasukan, tidak percaya diri lagi sebagai anggota Pasukan POLRI pengayom, pelindung, penjaga keamananan dan ketertiban masyarakat dan abdi negara, akibat KAPOLRI nya terlalu banyak bermain politik, hingga anggota-anggota POLRI banyak yang dibully oleh masyarakat.

Polisi dalam berbagai sorotan peristiwa, juga sering mengalami bentrokan secara serius dengan anggota-anggota TNI, yang tragisnya malah ditepuki tangan alias didukung penuh oleh sebagian masyarakat yang mungkin saja banyak menaruh dendam, trauma pada prilaku Polisi padanya dll.nya. Miris dan kasihan sekali bukan, anggota Pasukan POLRI banyak yang jadi korban seperti ini, padahal mereka belum tentu juga bersalah dan harus dibedakan dengan Kapolrinya yang sering bermain politik.

Belakangan kita juga melihat, betapa institusi TNI juga mengalami sorotan dan kritikan tajam dari tokoh-tokoh masyarakat dan akademisi, tak terkecuali dari purnawirawan-purnawiran institusinya sendiri.

Anggota-anggota purnawirawan TNI banyak juga yang mulai menganggap TNI sudah mirip dengan POLRI yang ikut-ikutan terseret dalam kegiatan politik praktis, seperti pembelaannya pada Jokowi dan calon-calon pejabat tinggi di lingkungan institusi TNI, serta Calon Kepala Negara/Pemerintahan plus Wakilnya, serta Kepala-Kepala Daerah yang didukung oleh Jokowi yang banyak juga dilawan oleh para purnawirannya (TNI).

Inilah yang terjadi semenjak Jokowi tampil di panggung politik nasional, bukannya berkah kedamaian, persatuan dan kesatuan antar warga bangsa, antar suku dan antar pemeluk agama, serta antar institusi-institusi negara yang didapatkan, melainkan malahan perpecahan demi perpecahan, kegaduhan demi kegaduhan terjadi secara terus menerus, dari tahun ke tahun, dari Jokowi naik tahta kepresidenan hingga lengsernya.

Namun Jokowi nampaknya lupa, selain banyaknya tokoh-tokoh politisi dan agama yang sudah berhasil dibungkamnya dengan berbagai “bingkisan manis” hasil jarahan proyek-proyek strategis nasional yang kerapkali meninggalkan banyak persoalan, masih banyak tokoh-tokoh agama, pendidikan, kebudayaan, kaum profesional, serta tokoh-tokoh pergerakan yang kritis, tak dapat “dinina bobokan”, masih tak kenal lelah terus menerus memantau pergerakannya.

Orang-orang yang berdiri di “luar pagar” (baca: di luar sistem-Pen.) ini terus berupaya untuk mencari solusi cepat dan konkret, bagaimana menghentikan arogansi dan brutalitas politik Jokowi. Mereka yang sekarang telah berhasil merangkul kekuatan dari unsur akademisi, budayawan dan militer, sebenarnya sudah menemukan solusinya, yakni Revolusi Sosial.

Hanya saja yang masih dijadikan kajian pertimbangan mereka, adalah bagaimana sebagian masyarakat yang sudah berhasil ditipu dan “digelapkan” nalar kewarasan berpikir politiknya oleh Jokowi yang mempelopori munculnya pergerakan para Buzzer Politik di Tanah air ini, kelak tidak menjadi korban deru debu revolusi sosial.

Inilah bedanya orang-orang revolusioner berintegritas yang memiliki kecintaan penuh dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan itu, dibandingkan dengan Jokowi yang tamak, serakah, hanya terobsesi pada terwujudnya kemewahan Dinasti Politik keluarganya, hingga lupa diri, lupa tujuan hidup akhiratnya, yang mengubur kecintaanya pada Tuhan, Manusia dan Alam Semesta di bawah gelinjang nafsu angkara murka, gemuruh gelombang syahwat berkuasanya yang kukuh dan menderu-deru. Salam revolusioner ! Merdeka !✊.️..(SHE). (Red)

Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Sniper Politik Nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *