Annanews.co.id || Belawan – Para nelayan tradisional di Belawan semakin geram dengan maraknya pelanggaran zonasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal pukat trawl dan pukat teri berkapasitas besar. Kapal-kapal ini beroperasi di perairan dangkal yang seharusnya menjadi wilayah tangkapan nelayan kecil, sehingga tidak hanya mengancam mata pencaharian mereka tetapi juga merusak ekosistem laut.
Rais, seorang nelayan tradisional, mengungkapkan bahwa setidaknya enam kapal pukat trawl dan beberapa kapal pukat teri terlihat menangkap ikan di sekitar Ringkai Lampu Satu, dekat area pengeboran Pertamina. “Kami memiliki bukti video yang menunjukkan kapal-kapal tersebut beroperasi di zona yang seharusnya terlarang. Namun, hingga kini belum ada tindakan nyata dari aparat penegak hukum,” tegasnya.
Pelanggaran Undang-Undang Perikanan dan Regulasi Zonasi
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Medan, Rahman Gafhiqi, SH, menegaskan bahwa aktivitas ilegal ini melanggar berbagai regulasi, di antaranya:
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang mengatur pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan serta membatasi alat tangkap yang merusak lingkungan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Zona Tangkap, Alat Tangkap Ikan, dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, yang mengatur bahwa:
Jaring Hela Ikan Berkantong (JHIB) hanya boleh beroperasi di zona perairan di atas 12 mil laut dari garis pantai.
Kapal pukat teri berukuran 30 Gross Ton (GT) ke atas wajib menangkap ikan di zona 12 mil ke atas, bukan di perairan dangkal.
Penggunaan bola lampu berdaya berlebihan pada kapal pukat teri harus dibatasi agar tidak mengganggu keseimbangan ekosistem laut.
Namun, di lapangan, kapal-kapal besar ini tetap melanggar batas zona tangkap dan menggunakan bola lampu dengan daya tinggi, yang menarik ikan dalam jumlah besar secara tidak terkendali. “Praktik ini bukan hanya merugikan nelayan kecil, tetapi juga mempercepat penurunan stok ikan di perairan dangkal,” kata Rahman.
Sanksi Hukum: Pelanggaran terhadap Pasal 85 KUHP dan UU Perikanan
Selain melanggar regulasi perikanan, aktivitas ini juga dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 85 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Hukum Kelautan, yang berbunyi:
“Barang siapa yang dengan sengaja melanggar ketentuan dalam undang-undang kelautan, yang mengakibatkan terganggunya ekosistem laut, merusak sumber daya ikan, atau merugikan kepentingan masyarakat nelayan, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah).”
Selain itu, UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 93 Ayat (1) dan (2) juga menegaskan bahwa:
1. Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah perairan Indonesia tanpa memiliki izin usaha perikanan (SIUP) yang sah dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
2. Kapal perikanan yang terbukti menggunakan alat tangkap terlarang atau beroperasi di luar zonasi yang ditetapkan dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin operasi serta penyitaan alat tangkap yang digunakan.
Dampak Sosial dan Ekologis: Nelayan Tradisional Terancam, Ekosistem Laut Rusak
Pelanggaran ini berdampak langsung pada ribuan nelayan tradisional di Belawan yang hanya mengandalkan alat tangkap sederhana. Mereka semakin kesulitan mendapatkan hasil tangkapan karena ikan-ikan telah habis dieksploitasi oleh kapal pukat besar.
Dari sisi ekologis, alat tangkap pukat trawl yang menyeret dasar laut menyebabkan kerusakan habitat ikan, sementara penggunaan bola lampu berlebihan pada pukat teri mengganggu pola migrasi ikan dan keseimbangan ekosistem laut. Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan drastis populasi ikan di perairan dangkal, yang akan berdampak jangka panjang pada industri perikanan nasional.
Tuntutan Nelayan: Penegakan Hukum dan Pencabutan Izin Kapal Ilegal
HNSI Kota Medan bersama nelayan mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla), Satuan Polisi Air dan Udara (Satpol Airud), serta Dinas Kelautan dan Perikanan untuk segera mengambil langkah konkret.
Beberapa tuntutan utama yang diajukan antara lain:
1. Patroli dan Pengawasan Ketat – Aparat harus meningkatkan patroli untuk mencegah kapal-kapal ilegal beroperasi di perairan dangkal.
2. Penindakan Hukum Tanpa Tebang Pilih – Kapal yang melanggar harus dikenakan sanksi tegas sesuai UU Perikanan dan Pasal 85 KUHP, termasuk pencabutan izin usaha, penyitaan alat tangkap ilegal, serta denda maksimal.
3. Pengendalian Penggunaan Bola Lampu Berlebih – Pemerintah harus menegakkan regulasi terkait daya lampu yang digunakan kapal pukat teri untuk mengurangi eksploitasi ikan yang tidak terkendali.
4. Edukasi dan Sosialisasi – Nelayan dan pemilik kapal harus diberikan pemahaman mengenai dampak negatif praktik penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab.
Rahman Gafhiqi menegaskan bahwa jika pelanggaran ini terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh nelayan kecil, tetapi juga oleh industri perikanan secara keseluruhan. “Jika eksploitasi ini terus terjadi tanpa pengawasan ketat, dalam beberapa tahun ke depan kita akan menghadapi krisis perikanan yang lebih besar. Ini bukan hanya masalah nelayan kecil, tetapi juga masalah ketahanan pangan nasional,” pungkasnya.
Dengan adanya pengawasan lebih ketat serta penegakan hukum yang adil dan tanpa kompromi, diharapkan kesejahteraan nelayan tradisional dapat lebih terjamin serta kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga demi keberlanjutan industri perikanan Indonesia. (Red)