Annanews.co.id || Karang Asem – Putusan bersalah vonis dua tahun kepada Made Kasih alias Selepeg, Jumat (25/10/2024) diduga ada permainan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Amlapura, Karang Asem, Bali dengan Pelapor dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Bahkan vonis kepada petani miskin ini terjadi karena diduga anggota Majelis Hakim ikut bermain atau bisa juga karena khilaf?
Majelis hakim patut diduga mengikuti irama salah catat nama dari panitera, sehingga terlibat atau terbawa arus khilaf memvonis tanpa memverifikasi kebenarannya. Sebab vonis inilah, malah Selepeg jadi korban mafia tanah, padahal dia menuntut haknya untuk mencari keadilan.
“Saya divonis dua tahun penjara karena melanggar pasal 242 ayat (1) KUHP oleh Majelis Hakim Pengadilannya Negeri Amlapura, Karangasem Bali, Kamis (15/8/2024). Ini apakah hakim terlibat atau khilaf, perlu ditelusuri. Saya dan Tim Kuasa Hukum mengajukan banding ke tingkat Mahkamah Agung untuk mencari keadilan,” kata Selepeg dalam keterangannya di Karang Asem, Rabu (30/10/2024) di Karang Asem.
Menurutnya, majelis hakim memutus vonisnya memberi keterangan palsu dalam sidang perdata Nomor 56/Pdt.G/2013/PN.Ap. Perkara tersebut menyangkut sengketa hak ahli waris atas kepemilikan tanah di Banjar Dinas Tanah Barak, Desa Seraya Timur, Karangasem.
Padahal untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, Selepeg mengolah ladangnya. Dia tinggal di rumah semi permanen bersama keluarga kecilnya. Untuk kebutuhan air, dia menampung air hujan di lubang besar di halaman rumah.
Selepeg menyatakan kecewa dengan putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Amlapura, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dalam Putusan Banding. Ia dan Tim Kuasa Hukum akan melaporkan kejadian ini ke Komisi Yudisial atau lembaga pengawas hakim
“Saya akan mengadukan kejadian vonis dua tahun ini dan dugaan kriminalisasi ini ke Komisi Yudisial dan lembaga pengawas hakim. Saya menuntut rehabilitasi nama ini dan vonis dua tahun ini bisa dianulir,” ucapnya.
Ia sebelumnya menerangkan dokumen kepemilikan tanah leluhur pada saat menjadi saksi pada sidang perdata nomor 56/ Pdt.G/ 2013/ PN.Ap. Dimana dilakukan gugatan oleh keluarganya, berupa dokumen kepemilikan tanah waris, yaitu pipil lontar atas nama I Sutiarmin Sukun, Paro Sukun dan surat tagihan pajak atas nama I Sutiarmin, serta Silsilah keluarga tahun 1962 dan tahun 2012.
“Silsilah yang saya buat sendiri dikatakan palsu oleh orang lain, yang bukan keluarga saya atau tidak ada hubungan waris. Saya percaya Ida Sesuhunan (Tuhan dengan manifestasinya) akan memberi hukuman bagi kezaliman. Tanah Bali tenget (angker), tidak ada satu pun manusia yang berbohong kepada ibu pertiwi akan selamat,” kata Selepeg, Selasa (29/10/2024).
Kekecewaannya atas ketidakadilan yang dirasa bukan tanpa alasan yang kuat., dia berpendapat dakwaan atas kasus itu lemah. Pada saat yang sama, banyak fakta yang dinilai diabaikan oleh hakim.
Pendek kata, Selepeg menyatakan tuduhan memberi keterangan palsu dan pembuatan silsilah tanah yang dipermasalahkan tersebut, tidak memiliki dasar yang kuat. Nama I Sutiarmin Sukun yang merupakan leluhur saya diakui sebagai leluhurnya dari pelapor hanya berdasarkan Silsilah yang dibuatnya pada tahun 1992.
Selepeg mengisahkan, nama kakeknya, I Sutiarmin Sukun alias Paro Sukun alias I Sutiarmin tercantum dengan benar dalam dokumen Pipil Lontar satu sampai dengan enam atas nama I Sutiarmin Sukun dan Paro Sukun dan tagihan pajak atas nama I Sutiarmin.
Hal ini yang dibeberkan di persidangan perdata sesuai keyakinan dan pengetahuan yang dimiliki saat itu dengan menerangkan: “semua tanah tanah sengketa ada atas nama I Sutiarmin Sukun, ada atas nama Paro Sukun dan ada atas nama I Sutiarmin anak laki laki pertama dari I Sudiani”.
Namun ditulis oleh panitera, semua tanah tanah tanah sengketa atas nama I Sutiarmin Sukun alias Paro Sukun alias I Sutiarmin anak laki laki pertama dari I Sudiani, majelis hakim lebih menitikberatkan pada perbedaan nama dalam dokumen, tanpa mempertimbangkan keseluruhan bukti yang disajikan.
Selepeg menuding laporan dari I Nyoman Kanis terkait pembuatan silsilah palsu, adalah upaya merebut hak waris tanah yang selama ini dikelola keluarganya dengan mencantumkan nama I Sutiarmin Sukun, dalam silsilah keluarga yang dibuatnya dan tidak didukung dengan dokumen lain, hanya berdasarkan informasi dan mampu membuat sampai dengan enam generasi keatas sementara.
“Silsilah saya tahun 2012 yang dikatakan palsu didukung oleh dokumen berupa silsilah tahun 1962 yang dibuat sendiri oleh I Sutiarmin Sukun, bukti hak atas tanah berula pipil lontar satu sampai dengan enam, tagihan pajak, surat keterangan keluarga I Sutiarmin Sukun, surat pernyataan dan lainnya,” ucapnya.
Maka dia berharap melalui proses hukum yang benar, hak atas tanah yang menjadi warisan keluarganya tetap terjaga dan sudah dikuatkan dengan putusan perdata yang menyatakan saya dan keluarga sebagai ahli waris yang sah serta berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2015 sampai saat ini tidak saya dapatkan walau sudah delapan kali mengajukan permohonan eksekusi.
“Kami tak ada hubungan keluarga dengan mereka. Mereka hanya penggarap, tetapi berupaya menguasai lahan kami. Klaim mereka tidak didukung bukti dokumen baik alas hak maupun dokumen lainnya dan dokumen yang diajukan oleh penuntut umum tidak ada yang asli seperti silsilah asli baik silsilah pelapor maupun silsilah saya tahun 2012 yang dikatakan palsu tidak pernah dihadirkan dipersidangan, hanya fotokopi. Apakah itu bisa dianggap bukti kuat?” keluh Selepeg.
Lebih lanjut dia menjelaskan, tanah tersebut tercatat atas nama , Sutiarmin Sukun, Paro Sukun dan I Sutiarmin anak dari I Sudiani. Selain itu masih terdapat sejumlah bukti . Selepeg optimis penuh harapan bahwa dalam proses kasasi di Mahkamah Agung masih ada Majelis yang mempunyai hati nurani, untuk menyatakan kebenaran. Sehingga seluruh kebenaran akan terungkap dan keadilan akan berpihak pada keluarganya.
“Vonis ini tidak mencerminkan keadilan. Kasus ini memiliki sejarah panjang yang patut diperhitungkan lebih mendalam karena bila ini ditetapkan akan menjadi hukum bagi siapa saja nanti akan mendapatkan pembenaran untuk mengatakan silsilah orang lain palsu dengan mencantumkan nama yang sama. Keterangan yang saya berikan bukan upaya untuk menyesatkan, melainkan berdasarkan pemahaman saya sesuai dengan dokumen kepemilikan tanah warisan yang saya miliki,” imbuhnya.
Karena posisi kasus pidana ini dikaitkan dengan kasus perdata yang disidangkan sebelumnya, Selepeg menduga ada konflik kepentingan dalam penanganan kasus ini. Dugaan itu lahir, karena mereka menilai proses hukum kurang transparan, bukti yang dihadirkan tidak ada yang asli, saksi tidak mengetahui langsung, saya tidak ada hubungan keluarga dan tidak ada perikatan perdata.
Dimana panitera yang salah mencatatkan keterangan Selepeg, serta bukti rekaman sidang dan berita dirinya di sidang perdata nomor 56/ Pdt.G/2013/PN.Ap., tidak dihadirkan di persidangan. Putusan majelis hakim berbeda jauh dari bukti yang mereka ajukan.
Selepeg berharap pengadilan yang lebih tinggi mampu meninjau ulang bukti dan kesaksian, serta Putusan baik ditingkat pertama maupun banding, sehingga keadilan yang diharap dapat terwujud.
“Saya menaruh harapan dan keyakinan, dalam proses kasasi , kebenaran akan terungkap, dan keadilan akan ditegakkan,” ucapnya
Oleh karena melalui Penasihat Hukum, merasa menjadi Korban permainan hukum mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk menolak semua tuduhan yang ditimpakan kepada dirinya sebagai orang awam hukum yang tidak berpendidikan dan masyarakat kecil.
Disinggung kemungkinan ada “orang kuat” yang melindungi pelapor untuk merekayasa hukum supaya bisa menguasai lahan warisan leluhurnya, Selepeg, tidak menjawab lugas. Dia berujar hanya mendengar ada oknum anggota DPR RI dari partai besar (red-PDI Perjuangan), yang berlatar belakang advokat di belakang pelapor.
Namun, apalah ada intervensi kekuasaan dalam proses pelaporan sampai putusan hakim dijatuhkan, dia mengaku tidak tahu.
“Semoga tidak benar ada intervensi dari oknum itu, seperti informasi yang saya dengar. Tapi jika benar, kami mohon lembaga yudikatif, khususnya MA, dan Komisi Yudisial mengembalikan marwah lembaga untuk bisa memberi keadilan hukum tanpa memandang status atau kedudukan seseorang,” harap Selepeg. (Red)