Annanews.co.id || Palu, 18/10/2025 – Ketua Asosiasi Tenun Sulawesi Tengah, Imam Basuki, mengharapkan wacana penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pelestarian Batik dan Tenun Lokal Kota Palu tidak hanya menjadi payung hukum semata, tetapi benar-benar berpihak pada pengrajin tenun lokal yang kini kian terdesak oleh dominasi pedagang bermodal besar.
Imam menegaskan, arah kebijakan dalam Raperda ini harus jelas dan berpihak pada pelaku industri kecil, terutama mereka yang masih mempertahankan tradisi pertenunan di wilayah-wilayah yang dulu pernah berjaya.
“Daerah-daerah yang punya sejarah pertenunan di Palu harus diidentifikasi dan dibangkitkan kembali. Dari situ baru bisa terlihat arah kebijakan pengembangannya seperti apa,” ujar Imam ke Infosulteng.id, Jumat, 17 Oktober 2025.
Menurutnya, perda ini tidak boleh bias dan justru memberi keuntungan kepada pedagang besar yang telah memiliki modal kuat.
“Pedagang besar ini sudah bukan pengrajin lagi. Mereka sudah jadi pengusaha yang tidak lagi membutuhkan pemberdayaan atau perlindungan. Sementara yang seharusnya mendapat manfaat dari perda adalah pengrajin kecil di desa atau kelurahan,” jelasnya.
Dia mencontohkan, di wilayah Kelurahan Watusampu, dahulu terdapat lima pengusaha tenun lokal yang kini seluruhnya gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan pedagang besar. Karena itu, Raperda Tenun harus mengatur pembinaan secara menyeluruh dari hulu ke hilir meliputi aspek pembinaan, perlindungan, pemberdayaan, dan pelestarian.
Lebih lanjut, Imam menekankan pentingnya membedakan antara pengrajin, pengusaha, dan pedagang. Pedagang murni, menurutnya, bukanlah sasaran utama perda ini, tetapi justru perlu diberikan kewajiban sosial seperti menyalurkan dana CSR atau bermitra dengan kelompok pengrajin.
“Sasaran perda harus jelas, yaitu pengrajin lokal. Tujuannya agar mereka bisa tumbuh dan berkembang, sekaligus menyiapkan sentra-sentra industri tenun di daerah,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi para pengrajin melalui kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas motif tenun khas Palu.
Dia juga menilai, selama ini program pemerintah daerah sering tumpang tindih dan belum fokus. Bahkan, dalam praktiknya, antara pengembangan batik dan tenun sering kali dicampur.
“Padahal batik adalah budaya nasional, sementara tenun merupakan kekhasan daerah. Jadi dalam Raperda Tenun, yang diutamakan seharusnya strategi pengembangan dan arah kebijakan, bukan sekadar motif,” kata Imam.
Dalam rancangan perda, terdapat tiga kata kunci utama menurut Imam yaitu pemberdayaan, pelestarian, dan perlindungan. Karena itu, ia menekankan perlunya penegasan siapa yang berhak menerima manfaat dari perda tersebut.
“Harus ditegaskan bahwa perda ini untuk pengrajin tenun lokal, terutama di daerah yang memiliki sejarah pertenunan seperti Kota Baru dan sekitarnya,” tambahnya.
Ia juga menyoroti lemahnya dukungan pemerintah terhadap pengembangan tenun di daerah. Di beberapa wilayah seperti Tawaeli, misalnya, perhatian justru bergeser ke batik sementara tenun belum sempat bangkit.
Masalah utama yang dihadapi para pengrajin saat ini, menurutnya, adalah persoalan pemasaran. Banyak kain tenun dari luar daerah masuk ke Palu dengan harga murah, bahkan sudah dalam bentuk pakaian jadi.
“Pengrajin lokal hanya menjual kain mentah, padahal kualitasnya tidak kalah. Tapi karena kalah di pasar, mereka sulit bertahan,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah diharapkan dapat memberikan intervensi kebijakan yang berpihak. Salah satunya melalui kebijakan afirmatif seperti mewajibkan penggunaan tenun lokal pada batik di hari tertentu.
“Tapi harus dipastikan juga bahwa pengadaannya berasal dari pengrajin lokal, bukan beli dari luar atau secara online,” katanya.
Imam menegaskan, pengawasan di lapangan menjadi kunci agar implementasi perda benar-benar menyentuh pengrajin lokal dan tidak sekadar formalitas.
“Intinya, perda ini harus berpihak kepada pengrajin lokal agar mereka memiliki ruang hidup dan kesempatan berkembang di tengah persaingan pasar yang semakin ketat,” tandasnya.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu, Arif Miladi, menyampaikan bahwa setelah kegiatan konsultasi publik Ranperda tentang Pelestarian Batik dan Tenun Lokal Kota Palu, DPRD akan melanjutkan pembahasan dengan menggelar rapat internal untuk membentuk panitia khusus (pansus) yang akan mengakomodasi seluruh masukan masyarakat.
“Langkah selanjutnya, kami akan rapat di DPRD untuk membentuk pansus yang membahas secara rinci seluruh masukan agar ranperda ini menjadi lebih sempurna,” jelas Arif. (Red)