Annanews.co.id || Aceh, 18 Oktober 2025 — Kekerasan terhadap insan pers kembali terjadi. Dua peristiwa berbeda, namun sama-sama mencerminkan pembiaran terhadap kebebasan pers dan kelumpuhan hukum di daerah. Wartawan lokal diserang, anak-anak mereka trauma, mobil dirusak, dan pelaku masih berkeliaran. Ironisnya, negara tampak diam, aparat tak kunjung bertindak tegas.
Peristiwa pertama terjadi pada Senin, 7 Oktober 2025, di Kampung Kuyun Uken, Kecamatan Celala, Aceh Tengah, di mana seorang wartawan media lokal menjadi korban penyerangan brutal yang diduga dilakukan oleh oknum Reje Kampung (Kepala Desa) berinisial A. Serangan itu berlangsung di kediaman korban, disaksikan langsung oleh empat anaknya yang kini mengalami trauma psikologis berat.
Keempat anak korban adalah:
1. Muhamad Alfarezi (3,5 tahun)
2. Ahmad Yuda (7 tahun)
3. Diandra Alfirian (11 tahun)
4. Suci Anastasya Futri (14 tahun)
Setelah kejadian, keluarga korban melaporkan anak-anak mengalami ketakutan berlebih, sulit tidur, dan merasa tidak aman bahkan di rumah sendiri. Hingga kini, belum ada pendampingan psikologis dari pihak pemerintah.
Sementara itu, pada Kamis dini hari, 17 Oktober 2025, wartawan senior dari 1kabar.com sekaligus Wakil Ketua DPW FRN Counter Polri Aceh, Syahbudin Padank, menjadi korban teror di kediamannya di Subulussalam.dua orang tak dikenal melempari mobilnya dengan batu, merusak kaca belakang, dan menciptakan kekacauan yang menimbulkan kepanikan keluarga.
Prof. Sutan Nasomal: Negara Diam, Demokrasi Terancam Merespons dua insiden tragis ini,Pakar Hukum Pidana Internasional dan Presiden Partai Oposisi Merdeka,Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH. menyampaikan kecaman keras terhadap sikap negara yang dianggap lamban dan cenderung diam.
> “Tindakan kekerasan terhadap wartawan ini tidak bisa dianggap biasa. Ini adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia,kebebasan pers, dan prinsip dasar demokrasi,” tegas Prof. Sutan dalam wawancara via sambungan telepon, Kamis (18/10/2025).
> “Jika Presiden tidak segera bersikap, maka itu bentuk pembiaran sistematis. Wartawan punya peran vital menjaga nalar publik. Menyerang mereka, sama saja menyerang hak rakyat untuk tahu,” lanjutnya.
“Trauma Anak Tak Bisa Ditebus dengan Maaf, Negara Harus Pulihkan Menurut Prof. Sutan, negara tidak boleh hanya fokus pada proses pidana terhadap pelaku, namun juga wajib memulihkan trauma anak-anak korban. Ia mendesak **Kapolda Aceh dan Kapolres Aceh Tengah segera melakukan investigasi menyeluruh.
> “Kalau terbukti, pelaku harus diproses dengan pasal berlapis, karena ini bukan hanya penganiayaan biasa, tapi melibatkan anak-anak sebagai korban trauma,” tegasnya.
Ia juga menuntut keterlibatan aktif dari DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta lembaga psikologi sosial untuk memberikan trauma healing kepada anak-anak tersebut.
Desakan Terbuka untuk Presiden RI dan Kapolri Prof. Sutan juga menyampaikan seruan terbuka kepada Presiden Republik Indonesia agar tidak tutup mata terhadap dua peristiwa ini.
> “Ini bukan isu lokal. Ini krisis nasional. Presiden harus bersuara. Kalau diam, maka rakyat berhak bertanya: di pihak siapa negara berdiri?” katanya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan jurnalis dalam menjalankan tugasnya, dan setiap bentuk kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran konstitusional.
Organisasi Wartawan Menuntut Keadilan
Sejumlah organisasi wartawan di Aceh juga angkat suara. Mereka menyebut kedua insiden ini sebagai upaya sistematis membungkam jurnalis kritis. Mereka mendesak agar pelaku ditangkap dan diproses hukum tanpa pandang bulu.
> “Jika kekerasan terhadap wartawan dibiarkan, maka yang mati bukan hanya profesi jurnalis, tapi juga akal sehat demokrasi kita,” ujar salah satu perwakilan organisasi pers di Aceh Tengah.
KESIMPULAN: Jika Pers Dibungkam Hari Ini, Maka Besok Kebenaran Akan Mati
Kejadian di Kuyun Uken dan Subulussalam adalah peringatan keras bahwa kebebasan pers kita berada dalam ancaman nyata. Negara tidak bisa sekadar memberi reaksi normatif. Harus ada **tindakan tegas, transparan, dan berpihak pada korban**.
> “Jangan tunggu wartawan mati baru negara bersuara. Jangan tunggu anak-anak ini kehilangan masa depannya baru birokrasi bertindak,” tutup Prof. Sutan. (Red)
NARASUMBER: Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH.Pakar Hukum Pidana Internasional, Ekonom Nasional
Presiden Partai Oposisi Merdeka
Jenderal Kompii & Pengasuh Ponpes Ass Saqwa Plus Kontak: +62 877-1902-1960