Annanews.co.id || Batu Bara – Debu jalanan di Kilometer 133-134 Medan-Kisaran, Desa Sei Balai, Kabupaten Batu Bara, menjadi saksi bisu tragedi yang merenggut harapan dua keluarga. Sabtu kelabu, 16 Agustus 2025, mengubah senyum menjadi air mata, dan impian menjadi puing-puing penyesalan.
Di simpang jalan itu, setiap hari, Rusli, sosok renta dengan rambut memutih, setia menanti penumpang. Bukan kemewahan yang ia dambakan, melainkan sekadar rupiah untuk menghidupi istri dan anak-anaknya yang berjuang mencari ikan di laut. Profesi sebagai “RBT” (ojek boncengan) adalah satu-satunya mata pencaharian yang ia miliki, sebuah asa di tengah kerasnya kehidupan pesisir.
Tak jauh dari sana, Hazizi, seorang pemuda dengan semangat membara, berjuang mencari nafkah sebagai buruh harian. Sepeda motor Honda Beat BK 5210 QAP menjadi saksi bisu setiap tetes keringat yang ia curahkan demi keluarga tercinta, sebuah simbol perjuangan di jalanan yang berdebu.
Namun, takdir berkata lain. Siang itu, sebuah mobil Grandmax berwarna Hitam bernomor polisi B 9828 PCW, yang diduga milik sebuah Bank BUMN, melaju dengan kecepatan tinggi dan merenggut kebahagiaan mereka. Hazizi, yang hendak pulang usai bekerja, tak menyangka mobil itu akan kehilangan kendali, lari dari jalurnya, dan menghantamnya. Rusli, yang saat itu sedang membantu seorang calon penumpang Bus Rajawali, ikut menjadi korban, terhempas oleh ganasnya kecelakaan.
Suara benturan keras memecah suasana siang itu. Rusli tergeletak dengan kaki remuk, darah mengalir deras membasahi aspal, membaur dengan debu jalanan. Hazizi, dengan paha patah, merintih tak berdaya, menahan sakit yang tak terperi. Warga sekitar bergegas memberikan pertolongan dan membawa keduanya ke Rumah Sakit Bidadari, sebuah oase di tengah gurun kepedihan.
Di rumah Rusli, sang istri tak kuasa menahan air mata, linangan air mata membasahi pipinya yang keriput. “Suamiku adalah segalanya bagiku. Tanpa dia, bagaimana kami bisa bertahan hidup?” ratapnya, suaranya bergetar menahan perih. Anak-anaknya memandang dengan tatapan kosong, menahan pahitnya kenyataan.
Di rumah Hazizi, istri dan dua anaknya yang masih balita hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya, doa-doa kecil yang dipanjatkan di tengah himpitan ekonomi. Biaya pengobatan yang mahal membuat mereka semakin terpuruk, terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Utang menumpuk, sementara harapan semakin menipis, seolah mentari enggan menyinari keluarga ini.
Rusli dan Hazizi sempat berpindah-pindah rumah sakit, mencari kesembuhan di antara keterbatasan. Akhirnya, mereka dirawat di Rumah Sakit Mitra Sejati Medan dengan bantuan Asuransi Jasa Raharjanya, berharap mendapatkan pengobatan yang lebih baik, namun Asuransi tersebut tidak sepenuhnya terbantukan dalam proses pemulihan mereka. Keduanya adalah cerminan kehidupan masyarakat kecil yang rentan terhadap musibah, terombang-ambing di tengah badai kehidupan. Mereka adalah korban dari kelalaian dan ketidak pedulian, sebuah ironi di jalanan yang seharusnya menjadi urat nadi perekonomian. Mereka adalah bukti bahwa hidup bisa berubah dalam sekejap mata, meninggalkan luka yang menganga. Hingga saat ini, mereka harus berupaya untuk tetap menjalani medical check-up di Rumah Sakit Mitra Sejati, sebuah perjuangan berat yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, padahal untuk biaya hidup sehari-hari saja mereka kesulitan.
Di tengah himpitan ekonomi dan derita luka, mereka hanya bisa berharap. Mereka berharap pihak kepolisian setempat mau memproses kasus ini dengan adil, memberikan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan. Mereka juga berharap pihak-pihak yang terlibat mau meringankan beban penderitaan mereka, mengulurkan tangan kasih di tengah kesulitan.
Semoga ada secercah harapan yang menghampiri Rusli dan Hazizi, semoga ada keajaiban yang meringankan beban mereka. Karena di balik setiap kesulitan, selalu ada ruang untuk kebaikan. (Red)