Annanews.co.id || Aceh — Skema Dana Desa yang diharapkan menjadi penopang pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di tingkat akar rumput, kini perlahan berubah menjadi ladang subur bagi korupsi terselubung. Ironisnya, ini terjadi secara masif di banyak desa di Aceh, tanpa pengawasan yang kuat, dan seringkali luput dari penindakan hukum.
Kritikan keras datang dari Syahbudin Padank, seorang jurnalis investigasi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPW FRN (Fast Respon Counter Polri Nusantara) Provinsi Aceh. Ia menyerukan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan secara langsung dengan membentuk tim pengawas di seluruh pelosok desa di Aceh. Bukan hanya imbauan atau pelatihan, tapi aksi nyata di lapangan.
> “Jangan tunggu rakyat berteriak atau korban jatuh karena dana disalahgunakan. KPK harus tempatkan mata-mata di tiap desa minimal tiga orang yang bisa mengawasi dan melaporkan langsung tanpa intervensi,” kata Syahbudin dengan nada tinggi.
Dana Triliunan, tapi Desa Masih Sakit
Setiap tahun, triliunan rupiah dikucurkan pemerintah pusat melalui Dana Desa ke seluruh penjuru Nusantara, termasuk Provinsi Aceh. Namun, kenyataannya, banyak desa di Aceh justru masih terjebak dalam persoalan kemiskinan, infrastruktur yang terbengkalai, dan ketidakadilan sosial. Ke mana uang itu mengalir?
Syahbudin menyebut, melalui peliputan dan laporan dari masyarakat, ia mengendus adanya pola sistematis dalam penyalahgunaan Dana Desa, mulai dari proyek fiktif, markup anggaran, pembangunan asal-asalan, hingga dugaan pemotongan dana oleh pihak-pihak yang seharusnya menjadi pengawas.
> “Kita tidak bisa terus menormalisasi pencairan ratusan juta hingga miliaran rupiah ke desa, sementara masyarakat tidak tahu uang itu ke mana. Ini bukan hanya soal administrasi, ini soal nyawa demokrasi dan keadilan sosial di tingkat desa,” tegasnya.
Bukan Sekadar Dugaan: Banyak Kasus Sudah Terbongkar Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Aceh termasuk provinsi dengan tingkat penyimpangan Dana Desa yang tinggi, berdasarkan pemberitaan media dan laporan aparat hukum. Beberapa kasus yang telah mencuat:
Penangkapan kepala desa di Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya karena menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi.Proyek jalan desa yang mangkrak di Aceh Timur, meskipun dananya sudah cair 100%.Mark-up pengadaan barang di desa-desa terpencil yang tidak pernah sampai ke tangan warga.APBDes yang tidak pernah dipublikasikan, meski transparansi anggaran adalah kewajiban hukum.
Namun, Syahbudin menegaskan, apa yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari gunung es Banyak penyimpangan lain yang tidak sempat dilaporkan karena masyarakat takut, atau karena pelaku memiliki kedekatan politik dengan penguasa lokal.
LSM dan Aktivis: “Kami Sudah Capek Berteriak” Sejumlah LSM dan aktivis antikorupsi di Aceh, terutama di wilayah Subulussalam, Aceh Tengah, Bireuen, dan Pidie Jaya, menyuarakan kekecewaan mereka terhadap lemahnya pengawasan dan sikap diam aparat penegak hukum.
> “Kami sudah berkali-kali mengajukan laporan ke inspektorat daerah. Tapi seperti masuk lubang tanpa suara. Tidak pernah ada tindak lanjut,” ujar seorang aktivis LSM dari Aceh Tengah.
Mereka menyatakan dukungan penuh terhadap seruan Syahbudin Padank, yang mengusulkan penempatan personel pemantau dari KPK langsung di setiap desa.
> “Kalau perlu, kita sebut mereka ‘mata-mata KPK’. Biar aparat desa sadar bahwa mereka diawasi. Biar rakyat berani melapor tanpa takut,” tambahnya.
Solusi Konkret: Bukan Retorika, Tapi Aksi
Syahbudin mengusulkan beberapa langkah tegas dan strategis yang harus dilakukan pemerintah pusat dan KPK:
1.Tempatkan minimal tiga pengawas independen di setiap desa di Aceh.
2.Bangun sistem pelaporan digital yang bisa diakses langsung oleh KPK pusat, tanpa perantara.
3.Wajibkan setiap desa mempublikasikan APBDes secara terbuka di tempat umum.
4.Lakukan audit lapangan secara berkala dan acak, bukan hanya menunggu laporan masuk.
5.Hukum berat pejabat desa yang terbukti melakukan manipulasi atau penyalahgunaan anggaran.
> “Saya bukan bicara untuk gagah-gagahan. Ini suara rakyat yang saya dengar langsung. Saya turun ke desa-desa, melihat proyek-proyek fiktif, mendengar keluhan ibu-ibu yang dijanjikan bantuan tapi tidak kunjung datang. Kalau negara masih punya hati nurani, sekarang waktunya bertindak,” pungkas Syahbudin Padank.
KPK dan Pemerintah Daerah Harus Bangun Kemauan Politik menurut Syahbudin, akar persoalan bukan hanya pada teknis pengawasan, tapi juga pada kemauan politik (political will) dari pemangku kebijakan. Jika kepala daerah, inspektorat, dan aparat hukum serius, maka praktik penyimpangan Dana Desa bisa ditekan secara signifikan.
> “Sayangnya, banyak yang lebih suka tutup mata. Karena mungkin pelakunya kolega, saudara, atau tim sukses. Tapi ingat, dana desa itu bukan uang pribadi. Itu uang rakyat, hak rakyat, dan harus kembali ke rakyat,” tegasnya.
“Aceh Tidak Butuh Pemimpin yang Diam” Syahbudin Padank mengakhiri pernyataannya dengan peringatan keras kepada seluruh pihak, bahwa jika tidak ada pembenahan serius, maka skandal Dana Desa akan menjadi bom waktu bagi kehancuran moral pemerintahan di tingkat paling bawah.
> “Aceh tidak butuh pemimpin yang diam saat rakyat dikorupsi. Kami, para jurnalis dan aktivis, akan terus bersuara, walau harus melawan arus. Dan saya pastikan, kami tidak akan berhenti,” tutupnya.
Catatan Redaksi: Syahbudin Padank saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPW FRN (Fast Respon Counter Polri Nusantara) Provinsi Aceh dan merupakan wartawan yang aktif melaporkan isu-isu sosial, korupsi, dan pelanggaran hak masyarakat di wilayah Aceh, khususnya Kota Subulussalam. (Red)