Annanews.co.id || Dolok Masihul, Serdang Bedagai 12/6/25 – Dugaan korupsi Dana Desa di Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, kembali mencuat. Masyarakat, aktivis LSM, dan jurnalis mempertanyakan integritas penegakan hukum serta transparansi penggunaan anggaran. Ironisnya, di tengah gencarnya kampanye akuntabilitas publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) justru seolah mati suri.
Nama Kepala Desa Dolok Sagala, yang juga menjabat sebagai Ketua Apdesi Kecamatan Dolok Masihul, menjadi sorotan utama. Bersama Kepala Desa Pardomuan, keduanya disebut-sebut sebagai dedengkot dalam dugaan praktik korupsi Dana Desa yang berlangsung secara sistemik dan massif. Meski laporan masyarakat telah dilayangkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) sejak tahun lalu, kasus tersebut justru dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai (Kejari Sergai) dan hingga kini menguap tanpa kejelasan.
“Tak pernah ada gelar perkara, tak ada klarifikasi. Kami sudah mencoba mengonfirmasi, tapi selalu ditolak secara halus,” ungkap salah satu aktivis LSM yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Potret Penyaluran Dana: Angka Fantastis, Transparansi Minim
Berdasarkan data yang dihimpun dari sistem informasi resmi, alokasi Dana Desa untuk Desa Dolok Sagala pada tahun 2023 mencapai hampir Rp 1 miliar (Rp 987.553.600), sementara pada tahun 2024 sebesar Rp 751.509.000. Dari laporan tersebut, tercatat sejumlah realisasi anggaran yang mengundang tanya publik, seperti:
Pembangunan Jalan Rabat Beton Dusun V dan II yang disebutkan berulang kali dalam tiga tahap pencairan, dengan total biaya di atas Rp 400 juta, namun keberadaannya diragukan warga.
Posyandu dan kegiatan kesehatan lainnya menyerap anggaran hingga Rp 224 juta sepanjang tahun 2023, meski pelaksanaannya hanya “numpang nama” menurut beberapa sumber di lapangan.
Operasional pendidikan keagamaan (MDTA/TPQ) yang menyedot lebih dari Rp 70 juta, tetapi tidak dibarengi laporan rinci atau bukti kegiatannya.
Tahun 2024, pola serupa terulang. Anggaran untuk ketahanan pangan desa yang difokuskan pada “lumbung desa” menyerap Rp 125 juta, namun masyarakat menyatakan belum pernah melihat program itu berjalan.
Kades Kebal Klarifikasi, UU KIP Diabaikan
Sementara publik menuntut keterbukaan, Kepala Desa Dolok Sagala, Pendi, justru tak pernah hadir dalam permintaan klarifikasi. Permintaan konfirmasi dari jurnalis dan masyarakat kerap ditolak tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“UU KIP seperti mati suri. Tidak ada satu pun dokumen publik yang dibuka. Semua proses tertutup. Ini bentuk pengabaian serius terhadap hak rakyat atas informasi,” ujar seorang jurnalis lokal.
Kondisi ini diperparah dengan kinerja Kasi Intel Kejari Sergai, yang dianggap enggan membuka penyelidikan atau memanggil saksi. Masyarakat menduga, ada “kekuatan tak terlihat” yang melindungi para oknum kades.
Desakan Publik: Usut Tuntas, Buka Data, Tegakkan Hukum!
Kini, tekanan dari publik makin meningkat. LSM dan media lokal mendorong BPKP, Inspektorat Daerah, dan Kejaksaan Tinggi Sumut untuk turun langsung ke lapangan serta membuka audit Dana Desa di Dolok Masihul secara terbuka.
Aktivis mendesak agar:
1. Kepala Desa Dolok Sagala dan Pardomuan diperiksa secara menyeluruh.
2. Realisasi anggaran dibuka ke publik sebagaimana mandat UU KIP.
3. Pemerintah daerah dan kejaksaan menggelar ekspos kasus secara transparan.
Penutup:
Kasus ini bukan hanya soal uang rakyat yang raib, melainkan juga tentang kehormatan hukum, transparansi pemerintahan desa, dan masa depan demokrasi di akar rumput. Ketika hukum bungkam dan kepala desa kebal klarifikasi, maka tak berlebihan jika publik bertanya: apakah hukum sudah lumpuh di hadapan korupsi berskala desa?. (Red)