LSM Jalinan Generasi Reformasi (JAGER) Hadiri FGD Pemahaman Bahayanya Hoaks, Disinformasi dan polarisasi di medsos untuk Memelihara Kehidupan Berpolitik dan Berbangsa

Annanews.co.id || Jakarta – LSM Jalinan Generasi Reformasi (JAGER) Hadiri Forum Group Discussion (FGD) yang berthema “Bermedsos Sehat Tanpa Hoaks, Disinformasi, dan Polarisasi untuk Memelihara Kehidupan Berpolitik dan Berbangsa” di Jakarta Pusat, Pada hari Senin, 20 Oktober 2025.

Forum Group Discussion ini dihadiri oleh Narasumber, Bandot Nendi Malera, S.E, Arief Bawono, moderator Qonita Nur Khodijah Riahdin, LSM Jalinan Generasi Reformasi (JAGER), Mahasiswa dan masyarakat.

Media sosial kini bukan sekadar ruang berbagi cerita, melainkan juga gelanggang politik yang menentukan arah wacana publik. Dalam satu dekade terakhir, platform seperti X (Twitter), Facebook, TikTok, dan Instagram telah menjadi arena perebutan pengaruh, pembentukan opini, bahkan perpecahan. Fenomena hoaks, disinformasi, dan polarisasi menjadi wajah baru dari krisis komunikasi digital yang kini berdampak langsung terhadap kualitas partisipasi publik dan kehidupan berbangsa.

Rendahnya literasi, kini, bukan karena terbatasnya akses informasi seperti dekade 90an. Justru, kita sedang menghadapi banjir informasi tanpa filter. Demokrasi digital yang awalnya diharapkan memperkuat partisipasi justru memunculkan paradoks: publik menjadi lebih aktif berbicara, namun semakin sulit membedakan mana kebenaran dan mana manipulasi.

*Definisi dan Batasan Konsep:*

1. Hoaks adalah informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menipu atau menyesatkan publik. Biasanya dikemas seolah-olah faktual, seringkali dengan memanfaatkan emosi publik seperti ketakutan, kebencian, atau nasionalisme sempit. Menurut Kementerian Kominfo, sepanjang tahun politik 2024 saja, terdapat lebih dari 1.700 konten hoaks politik yang terdeteksi di berbagai platform digital.

2. Disinformasi sedikit berbeda dari hoaks karena memiliki motif dan strategi yang lebih sistematis. Jika hoaks bisa dibuat siapa saja, disinformasi biasanya merupakan hasil rekayasa terencana, baik oleh kelompok politik, buzzer, maupun pihak tertentu untuk membentuk persepsi publik. Claire Wardle dari First Draft News menyebut disinformasi sebagai “deliberate falsehood created to cause harm or gain advantage.”

3. Polarisasi adalah perpecahan opini publik yang ekstrem hingga mengikis ruang dialog. Di media sosial, polarisasi sering terjadi karena algoritma yang hanya menampilkan konten sesuai preferensi pengguna (filter bubble). Akibatnya, publik terjebak dalam ruang gema (echo chamber), merasa paling benar, dan memandang kelompok lain sebagai ancaman.

*Jejak Historis dan Perkembangannya:*

Fenomena hoaks dan disinformasi politik di Indonesia mulai mencuat sejak Pilpres 2014 dan mencapai puncaknya pada 2019. Kampanye digital kala itu memperlihatkan bagaimana mesin politik memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk persuasi, tetapi juga untuk perang opini. Istilah “cebong” dan “kampret” menjadi simbol polarisasi sosial yang bahkan bertahan hingga kini. Pada masa pandemi COVID-19, pola yang sama kembali muncul. Hoaks kesehatan, teori konspirasi, hingga narasi anti-pemerintah beredar bersamaan dengan krisis kepercayaan terhadap lembaga resmi. Artinya, disinformasi tidak hanya berdampak pada pilihan politik, tapi juga pada sikap publik terhadap ilmu pengetahuan dan kebijakan negara.

Seiring waktu, algoritma media sosial memperparah situasi. Konten provokatif mendapatkan lebih banyak engagement, yang berarti lebih banyak distribusi. Dalam logika bisnis digital, emosi—bukan kebenaran—menjadi bahan bakar utama.

*Dampak terhadap Partisipasi Publik dan Kehidupan Berbangsa*

1. Menurunnya Kepercayaan Publik Disinformasi membuat publik sulit mempercayai lembaga resmi. Riset LIPI (2023) menunjukkan bahwa hanya 52% warga percaya pada informasi pemerintah yang beredar di media sosial. Ketidakpercayaan ini berpotensi melemahkan legitimasi kebijakan publik.

2. Degradasi Rasionalitas Politik Perdebatan publik kini lebih banyak digerakkan oleh emosi ketimbang argumen. Partisipasi politik menjadi reaktif, bukan reflektif. Masyarakat cenderung mendukung berdasarkan identitas dan sentimen, bukan program dan gagasan.

3. Normalisasi Kebencian dan Kekerasan Simbolik Polarisasi digital melahirkan budaya cyber bullying dan doxing. Aktivis, jurnalis, dan akademisi yang kritis sering menjadi korban serangan daring. Dalam jangka panjang, ini mengancam kebebasan berekspresi dan kualitas demokrasi deliberatif.

4. Erosi Solidaritas Sosial Polarisasi tidak hanya terjadi di dunia maya. Ia menembus ruang keluarga, komunitas, hingga institusi pendidikan. Rasa kebangsaan terkikis oleh identitas politik yang sempit.

*Upaya dan Strategi Antisipasi*

1. Literasi Digital Kritis Edukasi publik harus melampaui sekadar “cek fakta”. Kita perlu membangun kesadaran kritis tentang bagaimana algoritma bekerja, siapa yang diuntungkan, dan mengapa kita perlu menjaga empati dalam berdebat. Seperti kata Dr. Henri Subiakto, “Literasi digital bukan cuma soal tahu cara menggunakan media, tapi juga memahami siapa yang mengendalikan narasi.”

2. Kolaborasi Lintas Sektor Pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat sipil perlu membangun ekosistem check and balance. Platform media sosial juga harus lebih transparan dalam moderasi konten. Inisiatif seperti CekFakta.id adalah contoh baik dari gerakan warga yang berperan aktif melawan hoaks.

3. Penguatan Etika Digital dan Regulasi yang Proporsional Regulasi penting, tapi jangan sampai menjadi alat pembungkam kritik. Prinsip “transparansi dan akuntabilitas digital” harus menjadi acuan dalam setiap kebijakan pengendalian informasi.

4. Revitalisasi Ruang Publik yang Sehat Kita perlu menghidupkan kembali ruang-ruang dialog yang berlandaskan empati. Forum warga, diskusi lintas komunitas, dan FGD seperti ini adalah bentuk perlawanan terhadap logika algoritmik yang membelah kita.

Di era media sosial, kebenaran sering kalah cepat dari kebohongan. Tugas kita sebagai warga digital adalah memastikan bahwa berpikir kritis tetap menjadi budaya, bukan sekadar pilihan.
Partisipasi publik yang sehat tidak lahir dari keseragaman opini, tapi dari keberanian berdialog di tengah perbedaan. Melawan hoaks dan disinformasi bukan hanya soal fakta—ini soal menjaga kewarasan kolektif agar bangsa ini tidak tenggelam dalam kebisingan digital.

Ketua Umum LSM Jalinan Generasi Reformasi (JAGER) merasa bersyukur dan berterima kasih kepada senior-senior dengan melibatkan LSM JAGER di dalan acara Forum Group Discussion ini, karena bisa memberikan
pemahaman atas bahayanya hoaks, Disinformasi dan polarisasi di medsos khusus buat anggota saya dan umumnya untuk rakyat Indonesia. Dan kami juga di bekali metode cara dan kiat-kiat untuk antisipasi atau meminimalisir bahaya itu. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca berita terkini di Annanews.co.id