Annanews.co.id || Jakarta 10/10/25 – Ketegangan politik antara Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mulai mencuat ke permukaan setelah muncul dua versi tim reformasi Polri: satu dibentuk secara internal oleh Kapolri, dan satu lagi yang dirancang langsung oleh Presiden. Dalam pernyataannya yang tegas, Presiden Prabowo menolak pengakuan terhadap tim reformasi bentukan Kapolri dan menegaskan bahwa hanya komite resmi bentukan presiden yang memiliki legitimasi negara.
“Tim reformasi kepolisian hanya ada satu, dan itu bukan bentukan Kapolri. Saya sudah menyiapkan tim resmi yang melibatkan tokoh lintas bidang, dan akan segera bekerja,”
— Presiden Prabowo Subianto, dikutip dari Tuntas News, 29 September 2025.
Pernyataan singkat namun keras itu langsung mengguncang institusi Polri. Di dalam tubuh kepolisian sendiri, sebagian pejabat disebut kaget dengan ketegasan Presiden. Di luar, publik menilai langkah Prabowo sebagai bentuk koreksi terhadap langkah unilateral Kapolri yang dianggap melampaui garis kewenangan konstitusional.
Tarik-Menarik Legitimasi
Kapolri sebelumnya menerbitkan Surat Perintah Nomor ST/2299/IX/REN.2.2./2025 untuk membentuk Tim Akselerasi Transformasi Reformasi Polri. Tujuannya tampak baik: mempercepat reformasi internal, meninjau sistem rekrutmen, serta menyiapkan langkah-langkah transparansi di tubuh kepolisian.
Namun, langkah ini diambil sebelum Presiden mengumumkan Komite Reformasi Kepolisian Nasional — sebuah badan resmi di bawah kantor presiden yang akan memimpin arah reformasi kelembagaan secara menyeluruh. Ketergesaan Kapolri ini menimbulkan kesan bahwa Polri ingin “mendahului” keputusan negara.
Dari sudut pandang konstitusional, Presiden memegang hak prerogatif untuk mengatur lembaga negara, termasuk dalam hal desain reformasi institusional. Dengan demikian, pembentukan tim oleh Kapolri tanpa koordinasi presiden dapat dianggap sebagai langkah yang menyalahi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Suara Tegas dari Istana
Pernyataan Prabowo memperjelas arah politik hukum pemerintahannya. Ia ingin reformasi kepolisian dilakukan secara terpimpin, terukur, dan berada di bawah kendali eksekutif tertinggi. Dalam pertemuan internal kabinet, Prabowo disebut menegaskan bahwa setiap langkah reformasi lembaga negara harus terkoordinasi melalui struktur presiden.
Sumber istana menyebut, Prabowo bahkan mengingatkan bahwa “tidak boleh ada dualisme” dalam agenda reformasi. Presiden tidak menginginkan publik bingung terhadap dua tim berbeda yang sama-sama mengklaim membawa semangat perubahan.
Seorang pejabat senior di lingkaran istana mengungkapkan,
“Bapak Presiden menginginkan reformasi Polri yang kredibel dan melibatkan unsur sipil, akademisi, dan tokoh masyarakat. Bukan tim internal yang hanya menilai dirinya sendiri.”
Respons dari Kapolri
Menanggapi reaksi istana, Jenderal Listyo Sigit mencoba meredakan ketegangan. Dalam konferensi pers di Jakarta, ia mengatakan:
“Tim yang kami bentuk bersifat internal dan sementara. Kami akan menyelaraskan langkah dengan komite bentukan Presiden. Prinsipnya, kami mendukung setiap upaya reformasi yang diperintahkan oleh Bapak Presiden.”
— Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kapolri.
Meski demikian, pernyataan ini tidak serta-merta menghapus kesan bahwa telah terjadi miskomunikasi antara Presiden dan Kapolri. Di kalangan pengamat, langkah Kapolri dinilai sebagai bentuk overconfidence birokrasi yang lupa pada garis hierarki pemerintahan.
Reformasi yang Sesungguhnya
Apa yang sesungguhnya ingin ditegaskan Prabowo bukanlah sekadar soal siapa membentuk tim, melainkan soal esensi kekuasaan negara dan arah perubahan. Ia ingin mengembalikan reformasi Polri ke pangkuan sistem kepresidenan — bukan dibiarkan menjadi inisiatif korporatis internal.
Bagi Prabowo, reformasi Polri adalah bagian dari agenda besar penataan ulang aparatur keamanan negara. Itu sebabnya tim bentukan presiden disebut akan melibatkan unsur lintas bidang: tokoh masyarakat, pakar hukum, pegiat HAM, dan mantan perwira tinggi yang berintegritas.
Seorang anggota Dewan Pakar NasDem bahkan berkomentar:
“Langkah Prabowo menolak tim versi Kapolri adalah bentuk keberanian politik. Ia mengirim pesan bahwa reformasi Polri tidak boleh dikendalikan oleh kepolisian itu sendiri.”
Implikasi Politik dan Kelembagaan
Langkah ini membuka beberapa konsekuensi penting:
1. Penegasan otoritas presiden.
Prabowo menegaskan bahwa segala kebijakan strategis reformasi institusi harus mendapat mandat langsung dari presiden.
2. Evaluasi terhadap Kapolri.
Sejumlah pengamat menyarankan agar Presiden mempertimbangkan reposisi atau evaluasi terhadap Kapolri jika komunikasi dan koordinasi tetap bermasalah.
3. Kebutuhan transparansi dan partisipasi publik.
Reformasi yang sah harus melibatkan unsur non-Polri agar tidak terjebak dalam lingkaran birokrasi lama.
4. Stabilitas politik dan keamanan.
Di tengah kondisi sosial yang dinamis, hubungan harmonis antara presiden dan aparat keamanan menjadi fondasi bagi stabilitas nasional.
Penutup
Langkah Presiden Prabowo menolak tim reformasi versi Kapolri bukan sekadar teguran personal, melainkan sebuah pernyataan konstitusional tentang supremasi eksekutif dalam membenahi negara. Reformasi Polri — yang selama ini kerap mandek oleh resistensi internal — kini kembali ke jalur nasional yang sah.
Sebagaimana ditegaskan Prabowo:
“Negara ini harus tertib, termasuk dalam melakukan reformasi. Tidak bisa lembaga negara membentuk tim sendiri tanpa mandat. Kita harus bergerak bersama, di bawah satu komando: komando Presiden Republik Indonesia.”
Dengan kalimat itu, arah baru reformasi Polri kini jelas: bukan reformasi dari dalam, melainkan reformasi yang dikawal langsung oleh kepala negara — agar benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan kepada institusinya sendiri. (Red)