Membicarakan Reformasi Polri Harus Penuh Kehati – Hatian

Annanews.co.id || Jakarta 25/9/25 – Reformasi Polri kini menjadi perbincangan nasional yang tak bisa dihindari. Masyarakat mendambakan Polri yang lebih transparan, profesional, dan mampu bekerja tanpa bayang-bayang kepentingan politik.

Namun dibalik tuntutan tersebut, ada hal yang sering terlewatkan, yaitu cara kita membicarakan isu ini. Sering kali narasi tentang reformasi Polri dilontarkan secara gegabah, tanpa mempertimbangkan dampak psikologis, sosial, maupun politik.

Padahal, sedikit saja salah ucap atau salah framing, dampaknya bisa luar biasa. Tidak hanya pada citra Polri, tapi juga pada stabilitas bangsa.

Kita sudah punya pengalaman bagaimana isu keamanan bisa mengguncang situasi nasional. Kerusuhan pada Agustus lalu misalnya, memperlihatkan betapa cepatnya situasi bisa berubah dari ketidakpuasan sosial menjadi kekacauan yang merembet ke banyak daerah.

Narasi yang tidak hati-hati, baik di media maupun dari mulut pejabat publik, hanya memperbesar api, menurunkan kepercayaan masyarakat, dan memberi ruang bagi aktor-aktor politik untuk menunggangi keresahan masyarakat.

Dari situ kita seharusnya belajar, isu keamanan bukanlah bahan retorika, melainkan faktor penentu apakah negara tetap kokoh atau justru goyah.

Polri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah salah satu penopang utama agar dinamika politik tidak berubah menjadi konflik. Oleh karena itu, membicarakan reformasi Polri tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Para pengamat harus mampu menempatkan diri, menyajikan analisis yang tajam namun tetap berdasarkan data. Aktivis perlu memahami bahwa kritik tanpa solusi hanya menambah masalah.

Media juga memikul tanggung jawab besar, menyajikan informasi yang jernih, jangan membakar emosi publik lewat judul bombastis. Dan pejabat negara? Setiap kata yang mereka ucapkan akan dipersepsikan sebagai sikap resmi negara. Kalimat yang salah bisa menjadi bola liar yang sulit dikendalikan.

Reformasi Polri memang suatu kebutuhan, namun harus dilakukan dengan strategi yang jelas, bertahap, dan dikomunikasikan secara hati-hati kepada masyarakat.

Tanpa itu, kita hanya akan menciptakan persepsi bahwa Polri adalah masalah besar yang harus dibongkar total, padahal membongkar tanpa membangun pondasi baru justru bisa melumpuhkan fungsi keamanan negara.

Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, melemahkan institusi keamanan sama dengan membuka pintu bagi krisis yang lebih besar.

Sejarah Indonesia pun mengajarkan hal serupa. Reformasi tahun 1998 yang mengguncang banyak institusi, termasuk kepolisian, menunjukkan betapa sulitnya menata ulang lembaga-lembaga keamanan.

Butuh waktu lama untuk memisahkan Polri dari ABRI, memperkuat profesionalismenya, dan menempatkannya sebagai aparat sipil.

Jika sekarang wacana reformasi dibicarakan tanpa kesadaran historis, kita berisiko mengulangi kegaduhan lama dengan biaya sosial yang mahal.

Membicarakan reformasi Polri berarti membicarakan masa depan Indonesia. Kita bisa mengarahkan perubahan ini menjadi jalan penguatan institusi, atau justru menjadi sumber perpecahan.

Semuanya sampai sejauh mana pengamat, aktivis, media, dan pejabat negara bisa menjaga kata-kata mereka. Karena dalam masalah sebesar ini, kata-kata bisa menenangkan, tetapi juga bisa membakar. Kata-kata bisa membangun kepercayaan, tapi juga bisa meruntuhkan fondasi negara.

Reformasi Polri tidak bisa menjadi komoditas politik jangka pendek. Ia harus diperlakukan sebagai agenda jangka panjang bangsa. Itulah mengapa kehati-hatian bukan hanya etika, tapi keharusan. Karena yang kita pertaruhkan bukan hanya masa depan Polri, melainkan stabilitas Indonesia. (Red)

*R. Haidar Alwi*
*Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca berita terkini di Annanews.co.id