Mafia Capture : Ketika 9 Naga Menulis Hukum dan Menyandera Negara, Di Atas Kertas Mereka Pengusaha Dibalik Layar Mereka Perampok Republik

Annanews.co.id || Jakarta – Mereka bukan raja, tetapi lebih berkuasa dari siapa pun yang duduk di singgasana. Mereka bukan politisi, tetapi hukum tunduk pada kemauan mereka. Mereka bukan penegak keadilan, tetapi setiap penguasa yang lahir dari bilik suara mencium tangan mereka.

Sembilan sosok ini—sembilan naga—mereka tidak berkuasa karena mandat rakyat, tetapi karena mereka membeli negara.

Di kota-kota besar, di gedung-gedung kaca yang menjulang tinggi, mereka duduk di kursi empuk dengan tangan bersih, wajah berminyak, tersenyum pada dunia seakan-akan merekalah pahlawan pembangunan. Di bawah kaki mereka, ekonomi negeri ini berputar. Mereka memiliki pabrik-pabrik yang tak pernah tidur, toko-toko yang menjual kebutuhan pokok rakyat dengan harga yang telah mereka tetapkan sendiri. Mereka membangun perbankan, mengatur kredit, menentukan siapa yang boleh kaya dan siapa yang harus tetap miskin.

Salah satu dari mereka memegang kendali perdagangan gula dan beras, menentukan harga pangan di negeri yang katanya agraris ini. Harga melonjak, rakyat mengeluh, pemerintah pura-pura sibuk mencari solusi—padahal solusi tidak pernah ada tanpa restu dari salah satu naga ini.

Yang lain menguasai pertambangan, tanah-tanah yang kaya emas dan nikel mereka kuasai dengan lisensi resmi dari negara. Mereka tidak butuh pengadilan, tidak takut pada aparat. Mereka adalah hukum itu sendiri. Setiap peraturan yang menghalangi bisnis mereka bisa dibeli, dihapus, atau diubah sesuai kepentingan.

Ada yang bergerak di bidang energi, menjadikan listrik dan BBM sebagai komoditas yang mereka jual dengan harga seenaknya. Mereka punya infrastruktur, mereka punya jaringan, dan lebih dari itu: mereka punya kuasa. Negara harus tunduk, karena jika mereka mau, mereka bisa membuat negeri ini gelap dalam sekejap.

Di sudut lain, ada naga yang mengendalikan industri farmasi. Jika rakyat sakit, mereka harus membeli obat dari mereka. Jika pemerintah ingin program kesehatan berjalan, mereka harus melewati para naga ini lebih dulu. Sehat atau mati bukan soal nasib, tetapi soal seberapa besar laba yang bisa dihasilkan.

Ada yang merajai industri media, memastikan bahwa setiap berita yang keluar adalah berita yang menguntungkan mereka. Tidak ada suara yang boleh terlalu lantang menentang. Jika ada, maka suara itu akan dibungkam dengan cara paling halus atau paling kasar. Kebenaran bukanlah sesuatu yang harus diungkap, tetapi sesuatu yang bisa dikendalikan.

Yang lain lagi menguasai keuangan. Mereka punya bank, mereka punya lembaga investasi, mereka punya jalan untuk menyelundupkan uang ke luar negeri tanpa ketahuan. Mereka bisa mencuci uang hasil manipulasi bisnis menjadi modal sah untuk merampok lebih banyak lagi.

Dan tentu saja, ada yang menguasai bisnis rokok dan perjudian, dua industri yang katanya haram tetapi nyatanya menjadi nadi ekonomi negara. Merekalah yang membuat para pejabat diam. Pajak mereka besar, uang mereka lebih besar. Mereka membiayai politik, mendanai pemilu, mengangkat boneka-boneka ke tampuk kekuasaan, memastikan bahwa sistem tetap berjalan sesuai keinginan mereka.

*Sembilan naga ini tidak muncul begitu saja.* Mereka tumbuh dalam ketidakadilan, memanfaatkan setiap krisis untuk memperkuat cengkeraman mereka. Dari krisis moneter 1998 hingga pandemi terbaru, mereka tidak pernah kehilangan. Justru di saat rakyat jatuh miskin, mereka semakin kaya.

Mereka tidak pernah terlihat berpolitik, tetapi setiap partai besar memiliki utang budi pada mereka. Mereka tidak pernah mencalonkan diri dalam pemilu, tetapi setiap presiden, gubernur, dan anggota parlemen lahir dari restu mereka. Tidak ada undang-undang yang bisa lolos tanpa persetujuan mereka. Tidak ada kebijakan yang bisa dibuat tanpa memastikan mereka tetap diuntungkan.

Mereka membeli tanah, mereka membeli pabrik, mereka membeli hukum, mereka membeli pejabat, mereka membeli negara.

Dan rakyat? Rakyat hanya bisa menonton dari jauh. Mereka tak sadar bahwa setiap keputusan politik yang dibuat, setiap kenaikan harga yang terjadi, setiap lapangan pekerjaan yang hilang, setiap ketidakadilan yang mereka alami, semuanya kembali ke meja perundingan para naga ini.

Mereka adalah penguasa tanpa mahkota. Perampok tanpa pistol. Tiran tanpa tentara, Pesulap tanpa mantra yg bisa mengubah Aum jadi meong.

Tetapi selama rakyat tetap menjual suara mereka, selama partai-partai masih bisa dibeli, selama pemimpin negeri ini tetap mencium tangan mereka, maka cengkeraman ini tidak akan pernah lepas. Negeri ini tidak akan pernah benar-benar merdeka.

Dan kita, kita hanya bisa bertanya: sampai kapan kita rela menjadi budak mereka? @amm. (Red)

*Klik untuk baca:* https://aidigital.id/berita?id_item=890

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *