Annanews.co.id || Jakarta 14/11/25 -Sosok Mohammad Hatta dikenal sebagai seorang negarawan bijak, berintegritas, dan teguh memegang prinsip demokrasi. Namun, di balik ketenangannya yang legendaris, Bung Hatta pernah melewati masa-masa kelam yang mencekam saat teror dari Partai Komunis Indonesia (PKI) mengancam keselamatannya.
Malam Mencekam di Bali
Tahun 1965 menjadi salah satu periode paling genting dalam sejarah bangsa. Di tengah panasnya suhu politik, Bung Hatta tengah berada di Bali. Malam itu, suasana berubah tegang. Massa PKI berbondong-bondong mendatangi tempat beliau menginap. Mereka berteriak lantang, melontarkan cacian kepada sang proklamator kemerdekaan yang mereka benci karena sikap antikomunisnya.
Sekretaris Bung Hatta, I Wangsa Widjaja, yang menyaksikan kejadian itu, mengaku sempat geram. Namun ia memilih menahan diri dan menghadapi situasi dengan kepala dingin. “Saya pikir lebih baik menghadapi mereka dengan tenang,” ujarnya. Berkat ketenangan itu, malam mencekam tersebut tidak berujung pada kekerasan. Bung Hatta pun selamat dan kembali ke Jakarta. Tak lama berselang, pecahlah peristiwa bersejarah: Gerakan 30 September 1965.
Intimidasi yang Tak Pernah Usai
Bukan hanya sekali, teror terhadap Bung Hatta sudah terjadi sejak tahun 1957. Aparat yang diduga prokomunis berani menghentikan mobilnya di jalan, bahkan menggeledahnya tanpa alasan jelas. Semua itu adalah bentuk nyata dari kebencian PKI terhadap tokoh yang teguh menolak ideologi komunisme di Indonesia.
Putri Bung Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, juga mengisahkan masa kelam itu. Rumah keluarga Hatta kerap menjadi sasaran amukan massa PKI. Dinding pagar dicoreti dengan tulisan “Ganyang Hatta!” Batu-batu beterbangan, menembus pekarangan rumah mereka. “Rumah kami dilempari batu hingga masuk ke pekarangan,” ujar Gemala dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Puterinya (Penerbit Kompas, 2015).
Ancaman untuk Orang-Orang Dekatnya
Teror tidak hanya menimpa Bung Hatta dan keluarganya, tapi juga orang-orang yang dianggap dekat dengannya. Sekretaris pribadi Bung Hatta, I Wangsa Widjaja, mengisahkan pengalaman menegangkan dalam buku Mengenang Bung Hatta (Toko Gunung Agung). Tahun 1964, seorang polisi memberi peringatan padanya agar berhati-hati, sebab ada perintah rahasia untuk menangkap siapa pun yang berhubungan dengan Hatta.
Rumah Wangsa bahkan dua kali digeledah. Aparat mencari dokumen yang dianggap penting, namun tidak menemukan apa pun selain kertas-kertas biasa — yang akhirnya mereka bakar di halaman rumahnya. “Pada waktu itu mereka hanya menemukan dokumen tidak terlalu penting, yang kemudian mereka bakar,” kenangnya.
Namun, takdir berkata lain. Setahun setelah peringatan itu, meletus peristiwa G30S. Wangsa, Bung Hatta, dan para sahabatnya berhasil selamat dari gelombang penangkapan besar-besaran.
Warisan Keberanian Seorang Demokrat Sejati
Kisah ini menjadi bukti bahwa Bung Hatta bukan hanya seorang pemikir besar dan proklamator kemerdekaan, tetapi juga sosok yang berani menghadapi ancaman dengan ketenangan dan moralitas tinggi. Ia tak melawan dengan kekerasan, melainkan dengan kepercayaan pada akal sehat, nilai-nilai demokrasi, dan cinta damai.
Darah dan teror tak mampu mengguncang keteguhan hatinya. Bung Hatta tetap berdiri sebagai simbol kesederhanaan dan keberanian moral di tengah badai politik yang mematikan. (Red)
Sumber : merdeka.com
#BungHatta #TokohAntikomunis #SejarahIndonesia #TerorPKI #G30S1965 #PahlawanBangsa #ProklamatorDamai













